Syariat Islam: Logistik, Logika dan Ekologi

Ditulis oleh : Alex

Pembebasan bagian dari ajaran agama. Islam sebagai agama selesai secara ketauhidan dan  cara hidup sosialis pada masa Nabi Muhammad SAW. Islam masa kini adalah penindasan yang dibentuk secara komersial oleh pemuka agama. Agama hampir sempurna untuk mengatur aspek kehidupan manusia, Islam sebagai agama belum berhasil menertibkan moralitas umat manusia sebagai khalifah. Hal ini semakin diperkuat dengan keterlibatan ORMAS agama dalam pengelolaan tambang. Islam bukan hanya agama yang mengatur seorang hamba dengan tuhannya, namun Islam merupakan agama yang memiliki kewajiban mengatur hubungan secara horizontal manusia. Islam memperhatikan semua aspek kehidupan umat. Syariat islam adalah membentuk larangan-larangan formil dan materiil. Untuk kehidupan modern, syariat Islam masih digunakan sebagai salah satu bentuk hukum tindak pidana yang masih hidup di masyarakat hasil ratifikasi dari fiqih. Syariat islam juga menjadi salah satu sumber hukum yang masih hidup di masyarakat Indonesia, terkhususnya masyarakat Aceh.

Penandatanganan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005 sebagai penyelesaian konflik separatis bersenjata. Fenomena Ini juga pertama kalinya dalam sejarah Indonesia bahwa Jakarta mengizinkan calon independen yang tidak berafiliasi dengan partai manapun yang terdaftar untuk bersaing dalam pemilihan kepala daerah, menjadikan sistem pemilihan Aceh yang paling partisipatif, adil, dan inklusif dimanapun di Indonesia.

Syariat bukan hanya aturan yang mengatur manusia secara vertikal maupun horizontal. Tetapi syariat Islam juga menyelamatkan hewan-hewan liar dan hutan yang rindang untuk terus memberikan kehidupan. Seolah itu akan terus jadi resolusi di atas kertas ketika pemahaman syariat tidak bisa dilogikakan. Syarqawi mengatakan bahwa pemahaman syariat Islam di kalangan masyarakat Aceh saat ini, kelihatan masih samar-samar. Sebagian memahami syariat Islam hanya sekadar mengenakan jilbab, dan sebagian lain memahaminya sebagai larangan.[1] Bahkan yang lebih sederhana memahami syariat Islam sebatas aturan manusia dengan Tuhannya secara subjektif dan personal (private) dan tidak dalam lingkup publik, sehingga penerapan syariat tidak membutuhkan lembaga negara atau melegal-formalkan aturan syariat tersebut.

Islam adalah agama yang selalu mengedepankan hubungan sosial. Seorang hamba harus peduli terhadap lingkungan sebagai ruang hidup. Syariat islam bukan sekadar simbol tongkat yang diunggulkan, namun syariat Islam adalah implementasi sebagai logistik untuk penyelamatan lingkungan dan keberlangsungan kehidupan manusia, menjaga secara horizontal baik kepedulian sosial dan kepedulian lingkungan. Dogma agama tidak semata-mata sebagai cara menemukan Tuhan, namun juga sebagai cara melihat kehidupan secara keseluruhan. Ibadah adalah permasalahan individu, seperti halnya ketika saya tidak shalat, orang terdekat saya tidak ikut bertanggung jawab mendapatkan dosa dari shalat yang saya tinggalkan. Tentu hal lain akan sangat berbeda ketika lingkungan dirusak oleh sekelompok manusia bercorak kapital, akan berdampak pada kehidupan manusia yang lain, berdampak pada hewan yang telah mendiami (metabolic rift). Perdebatan akan kebenaran tentang esensi nilai islam yang sejatinya itu sama sekali tidak ada gunanya. Islam tidak memiliki DNA yang tetap dan kaku. Islam adalah apapun yang diimplementasi umat untuk keberlangsungan kehidupan. Syariat islam mestinya menjadi dan menuju kepada teologi pembebasan, bukan pengekangan.

Aceh, merupakan satu-satunya provinsi secara kaffah yang menerapkan syariat Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara esensi penerapan syariat islam dalam bentuk Qanun menjadi pembeda Aceh dengan provinsi lain. Perbedaan itu seharusnya menjadi fondasi Aceh menjadi daerah yang bisa menghadirkan memakmurkan, bukan malah memisahkan. Kita perlu mencarikan sejauh mana keberhasilan penerapan syariat Islam di Aceh untuk menyelamatkan petani, nelayan, hutan, maupun hewan liar. Qanun yang sejatinya adalah gambaran dari Islam yang menyelamatkan sebagai elemen kehidupan bukan hanya sebagai peraturan yang menghukum perbuatan tindak pidana, mesum, zina, judi, dll.

Keberhasilan penerapan syariat Islam di Aceh harus diuji dengan kebenaran data dari berbagai bidang kehidupan. Hasil Susenas BPS secara nasional bulan Maret 2022, memberitahukan bahwa jumlah penduduk miskin di Aceh bulan Maret 2022 14,64 persen (806.820 orang) [2].  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Aceh sebesar 6,30% pada Agustus 2021. data Tahun 2007 Luas lahan kritis di Provinsi Aceh seluas 459.469,28 ha  dengan kategori kritis seluas 393.025,63 ha dan sangat kritis seluas 66.443,65 ha. Pada tahun 2011 luas lahan kritis di provinsi Aceh mengalami peningkatan mencapai 460.099,76 ha, dengan kategori kritis seluas 393.397,03 ha dan sangat kritis seluas 66.702,73 ha.[3] Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan [HAkA] Aceh menunjukkan, dari Juni 2020 hingga Juli 2021, provinsi ini kehilangan tutupan hutan sebesar 443 hektar. Atau, dalam setiap 27 menit, Aceh kehilangan satu hektar tutupan hutan.

Sekitar 251 ribu hektar hutan di Provinsi Aceh dalam keadaan rusak.[4] Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada Agustus 2020, dalam buku indeks pembangunan manusia Provinsi Aceh 2019, mengungkap, masih ada persoalan serius pada pendidikan Aceh. Pada  halaman 21 menyebut, angka partisipasi sekolah (APS) Provinsi Aceh tahun 2019, tercatat angka partisipasi sekolah usia 16-18 tahun, hanya 83,26 persen. berdasarkan data kompilasi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh dalam periode tahun 2017 s.d 2021 tercatat konflik manusia-gajah ± 344 kali, konflik manusia-harimau ± 76 kali dan konflik manusia-orang utan sebanyak ± 109 kali.[5]

Syariat islam adalah upaya untuk melaksanakan aturan-aturan yang berasal dari kitab-kitab fiqih yang diratifikasi pada 13 abad yang lalu, yang kemudian dilegal-formalkan dan memaksakan fiqih tersebut masuk dalam sistem hukum positif, sehingga penerapan syariat di Aceh hanya terbatas pada wilayah ibadah dan moral saja, sehingga melahirkan pandangan bahwa hukum sebagai akibat realitas sosial.[6] Padahal hukum (syariat) tidak hanya dimaknai sebagai realitas sosial tetapi hukum (syariat) juga harus dimaknai sebagai realitas metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra. Dengan kata lain, hukum tidak saja dimaknai sebagai fenomena rohani tetapi juga fenomena sosial.[7]

Pada taraf Qanun di implementasi dari hasil reaksi sosial, Qanun akan menjadi pembebasan untuk kaum proletariat, perlindungan hutan, penjaminan hak untuk mendapatkan pendidikan dan  kemerdekaan untuk berpikir. Kesejahteraan dan kedamaian seolah belum dapat kita temukan dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Masih begitu banyak permasalahan yang masih bisa kita temukan di provinsi Aceh dari persoalan krisis ekologi, konflik agraria, kemiskinan, persoalan pendidikan. Menjadikan tanda tanya besar, apa yang kurang dalam penerapan syariat Islam di Aceh? Secara sadar, kita tidak dapat menyalahkan syariat Islam yang kemudian diratifikasi menjadi hukum di Aceh. Namun yang perlu kita pertanyakan bagaimana pemahaman pemerintah Aceh akan syariat Islam. Menganalisis persoalan di atas akan menjadi pertanyaan besar apa masih kredibel penggunaan syariat islam hanya seputar ranah privat seorang hamba dengan Tuhan? Penggunaan syariat Islam sebagai teologi pembebasan  mengatur  dan menyelesaikan permasalah lingkungan  dan sosial masyarakat. Pelbagai persoalan diatas menjadi refleksi bahwa qanun yang ada tidak serta merta menghadirkan kesejahteraan. Namun bukan berarti qanun sudah tidak layak untuk diterapkan, melainkan cara melihatnya perlu untuk dikembangkan baik secara sosial maupun ekologis.

Di sisi lain suatu pemahaman mengenai tujuan dari syariat, masih belum terintegrasi dalam pelaksanaan syariat di Aceh, dimana tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umatnya secara keseluruhan. Sedangkan persoalan kemiskinan, kebodohan, degradasi moral, akses keadilan yang masih sulit, penindasan secara struktural terhadap kaum lemah, baik dalam hal politik, hukum maupun ekonomi, seakan tak tersentuh oleh penerapan syariat Islam di Aceh.[8]

Mereka yang sekarang menjabat sebagai suprastruktur politik mestinya memaknai penerapan Qanun, bila tidak silahkan mundur dari jabatan sebelum diturunkan dengan revolusi Teologi pembebasan. Penerapan Qanun dalam pemerintahan Aceh adalah upaya sosialisme Islam sejati, qanun harus direalisasikan dalam akar pemikiran, bukan hanya di kertas. Qanun bukan hanya untuk menghukum siapa yang salah, Qanun mencegah apa yang belum terjadi dan harus bersikap tegas untuk merasa yang  merusak alam. Jangan terlalu memikirkan pembentukan qanun kalau masih ada perut yang lapar, logika tanpa logistik adalah mereka yang tidak bisa makan. Hutan yang gundul adalah kebodohan stakeholder pemerintahan Aceh. 

Syariat Islam sebagai logistik untuk mencapai logika. Logika yang akan memberikan makanan untuk rakyat. Wacana keilmuan sosialis perlu untuk diperkenalkan sebagai upaya agar orang-orang Islam bisa mengetahui mana yang bisa dikomersilkan dan juga dibiarkan berkembang secara organik. Tuhan sudah memberikan kehidupan untuk seorang hamba secara cukup, namun karena para oligarki yang membuat ada rakyat Aceh tidak bisa mendapatkan akses pendidikan yang sama, mendapatkan keadilan yang sama. 

PERINGATAN OTSUS SEBENTAR LAGI HABIS, YANG BERKUASA UDAH BISA BERPIKIR, RAKYAT BISA BERGERAK UNTUK MANDIRI …

 




[1] Syarqawi, Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Aceh Institute., 2007), hlm. 87.

[3] https://www.walhi.or.id/aceh-bertaburan-masalah-lingkungan-hidup

[4]  https://www.mongabay.co.id/2022/03/26/251-ribu-hektar-hutan-aceh-rusak-upaya-pemulihan/

[5] https://dlhk.acehprov.go.id/2022/06/tim-satgas-penanggulangan-konflik-antara-manusia-dan-satwa-liar-aceh-gelar-rapat/

[6] Chairul Fahmi, Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariat Islam, Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, hal 167.

[7] Mahmud Arif, Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006), hlm. 124.


 

Posting Komentar

0 Komentar