Pancingan Tanpa Kail (3)

Oleh : Arinal

Penjaga Kutukan

Malam sekelebat kelam berangsur padam tak kala menjumpai subuh. Namun rotasi semesta hanya berlaku di dunia nyata. Disini, ruang dan waktu tidak bergeming, sedikitpun. Apa yang bergerak; kabut yang bergumul dengan desir dedauan, air danau yang diam-diam resah disapa angin, deru gunung yang menghenyakkan rumput sepanjang sabana yang membentang, hanyalah penjara yang menahan kehidupan dan kematianku. Aku hanyalah pendosa yang dikutuk seumur masa karena tindakanku di masa lalu. Tidak ada apapun disini yang bisa kulakukan selain mengingatmu, Aldebaran. Itulah satu-satunya harapan sekaligus sebab kutukan aku berakhir di tempat ini.

“Menurutmu, ini pertemuan keberapa kita?” tanyaku sambil terkekeh.

Binar matanya perlahan tertutup embun. “Masih penting menanyakan hal tersebut sekarang?” Jawab Aldebaran.

Kekeh kecilku menjadi tawa yang keras. Aldebaran benar. Pertanyaan itu sangat tidak penting. Sebab kutukan ini hanya akan menghilang sampai kami bertemu di kali ke-1717 setiap seperempat abad atau kurang. Sedangkan saat ini mungkin baru perjumpaan kami yang keseratus? Dua ratus? Atau mungkin baru dua belas kali? Aku tidak ingat. Aku tidak peduli. Kenapa satu dan tujuh? Kata orang lama, satu dan tujuh (atau tujuh belas) memiliki arti “aku mati sekarang”. Kutukan yang akan membuat korbannya putus asa memohon kematian. Kenapa dua kedake? Aku tidak tau, mungkin para pengutuk itu asal saja meminta hukuman yang pantas pada burung tujuh, salah satu Phobetor yang dipanggil untuk menyengsarakan orang.

Aldebaran menghela nafas sambil mengusap matanya. Menepuk-nepuk kedua pipi. “Apa kamu masih menungguku?” Aih, dilontarkan pertanyaan yang sudah punya jawaban pasti itu. “masihkah harus menanyakan hal tersebut kali ini?” tanya ku balik. Aldebaran tersenyum manis, persis seperti bentukan senyum saat dia menyecap La Valetta di kedai kopi kesukaannya.

Sebenarnya ingin balik ku bertanya, apakah dia masih memandangku sebagaimana dahulu? Seperti desir pasir yang terus bergesekkan dalam tabung waktu, perasaan ini terus terasah melompati masa. Kendati demikian, cinta pula yang menjadi kesengsaraan dari kutukan ini. Kami akan terus saling bersanding rasa. Yang mengingat selamanya hanyalah aku. Aldebaran, akan melupakanku tepat setelah mimpi ini berakhir. Hanya menyisakan rasa sesak yang tidak akan ditemukan jawabanya hingga bangun nanti. Semakin dia mempertanyakan gemuruh dalam dada itu, semakin gundah pula hatinya.

Aku meraih tangannya dengan jemari yang sudah terkutuk ini. Mangajaknya berjalan-jalan menikmati dunia yang hanya milik kami saja. Dunia dimana tempat kami dirajam, dunia ini pula tempat kami menjawab rindu. Aku mulai menceritakan keseharianku selama disini. Biasanya aku memancing di pinggir danau. Harap-harap aka nada ikan yang menggigit umpan. Tentu saja aku pemancing yang payah, sebab jangankan berharap mendapat tiga ton ikan kakap merah, teri saja tidak sedikitpun mencoba melirik mata pancingku.

Ketika aku sudah menyerah dengan skill memancingku, aku sesekali mengintip ke dunia. Caranya sangat mudah, aku tinggal mangambil segenggam tanah di bibir danau, tinggal kuhamparkan saja ke permukaan danau ini. Nanti akan muncul layar persis seperti alat komunikasi milik orang di era ini. Hal pertama yang akan muncul tentu saja kehidupanmu, Biela. Kehidupanmu seperti fyp dari aplikasi penunjang informasi. Kalau benar ingatanku, salah satu fiturnya dihapus sebab merugikan UMKM.

“Biela ya, haha...” Jawabmu sedikit terkejut. Tentu saja aku ingat. Itulah namamu saat pertama kali paradoks lalim ini dimulai. Menarik saat nama itu menjadi nama komet yang secara misterius menghilang dari orbitnya. Montaigne yang memberi nama itu kalau tidak salah adalah cicitmu bukan? Hahaha.

 

-…-

Aku melihatmu, terus melihatmu. Dalam wacana yang tak bisa ditawar lagi, aku berangan-angan, akankah bisa mengenggam tanganmu yang hangat, dibasahi keringat yang keluar dari pori-pori kulit. Ingin juga kutemani dirimu wahai pujaanku, saat kau takut-takut menemani Marry Wollstonecraft yang hendak menyuarakan suara yang senyap. Padahal tak usah risau. Sudah benar Langkamu itu. Sebagaimana versimu yang dulu, kau mengangkat rencong yang menusuk langit, bersama Malahayati di selat Malaka melawan kafir Belanda. Saat tiba kita bertemu, kau tak habis-habis bercerita tentangnya. Aku merinding. Sudah banyak kulihat Perempuan menulis surat, berpuisi di jalanan, bahkan sampai mengacungkan jari Tengah di hadapan penguasa, tapi Perempuan yang tak hanya menantang maut, tapi mampu memimpin 2000 prajurit perempuan berjuang menjaga kehormatan bangsa. “enggak habis piker aku dengan watak sang laksamana!” begitu ujarmu.

Oh ya, Jangan bosan kau bercerita setiap kita berjumpa. Aku senang mendengarkanmu bercerita. Pipimu akan merona bak tomat Italia. Matamu berbinar mengalahkan bola kaca diusap cahaya. Jemarimu bergetar kegirangan menggambarkan fenomena yang kau lalui. Terkadang telingaku agak panas mendengarnya. Ah, akukan tidak punya telinga disini, yohohoho! Hehehe… tidak lucu ya. Padahal di anime yang ku lihat itu lucu. Eh, eh, tersenyum kau? Memang masalah funny bolehlah skill itu di adu.

Dan Aromamu, meraksi rasi Melati. Iya, seperti Melati, dirimu tidak hanya memikat, namun mengikat di ingatan saat pertama kali harumnya dihantarkan udara, melewati hidung, memasuki tabung penciuman, tepat disebelah amigalda dan hipokampus –keduanya adalah menteri yang mengatur emosi dan memori dalam perbendaharaan jasad. Itulah sebabnya dengan mengingatmu saja, dapat menggugah perasaan yang layu dirudung sepi menjadi tegar penuh gairah. Seperti Melati juga, dirimu adalah “Hadiah dari Tuhan” untukku, “Sang Ratu yang menyapa malam” --dimana tempatku bermukim.

 

--…--

“Malam mulai mencerahkan diri. Purnama begitu hormat kepada Ratunya. Dia, bersama para Bintang berbaris rapi menyilaukan langit. Akankah malam menjadi abadi untuk sang ratu dan si boneka kayu yang sedang membayar rindu?”

--…--

Omong-omong Biela, saat aku masih menjadi fana dahulu, masih mengerti rasanya terbakar matahari atau tersengat rembulan, aku sangat mencintai pagi. Aku dengan pagi seperti berbagi asmara kami masing-masing. Sang Mentari, dengan gagap gempita menyiram sebagian bumi. Dengan percaya diri menjelajahi jendela-jendela rumah, mengintip kemesuman yang sempat disembunyikan malam. Tidak ada yang jengkel ataupun marah tak kala tertangkap basah olehnya. Berbeda ketika aku Bersama teman-temanku memergoki perselingkuhan antara kepala desa dengan istri sahabatnya sendiri. Bisa kau bayangkan bagaimana matanya melotot melihat kami? Seolah-olah kamilah yang salah. Si Perempuan yang sedikit sadar diri itu, setidaknya masih mau menutup muka, sadar berdosa. Maka setelah satu dua pukulan mendarat mulus di sekitaran perut atau mukanya, barulah benar pikirannya untuk mengakui kesalahan.

Pagi juga membuat kita merasa bahwa hari kemarin sudah berlalu. Mereka yang bagus tidurnya, setelah cukup memupuk kekuatan semalaman, dipakainya kekuatan itu untuk membangun gagasan dalam menjalani hari. Sebagian dari mereka ada yang memasak untuk keluarga, ada juga sekedar duduk di halaman rumah, mencermati kicau burung atau kopi panas yang masih berasap di atas meja. Sebagian lain ada yang sudah meninggalkan tempat tinggal, Bersama pagi mereka meladang di kebun atau melempar jala di tengah samudera. Pagilah yang membimbing. Bilamana hari kemarin ada masakan yang keasinan, atau burung yang parau, atau kopi yang kemanisan, ataupun hasil yang tak memuaskan, pagilah yang memberi harapan. Mengganti kesalahan lalu dengan kesempatan yang baru.

Aku dulu juga tidak mau kalah dengan pagi. Setiap pagi ada saja yang bisa kulakukan untuk –setidaknya—mencuri perhatianmu. pesonamu nun dekat denganku, namun kau yang lahir sebagai anak nazar, sudah dijodohkan bahkan sebelum dirimu pandai menentukan pilihan, membuat harapan kita Bersatu membentang nan jauh.  Kadang kala kutitipkan surat kepada anak laki-laki yang ikut ayahnya mengambil buruan ke hutan. Rumahmu yang terletak di pinggir desa mustilah dilewati mereka. Jika arah buruan telah berubah (di masa lalu, demi menjaga kelestarian hewan buruan, para pemburu akan mengganti daerah buruan mereka saat sudah memasuki waktu tertentu), maka aku akan memberanikan diri menyelinap ke halaman rumahmu, kulemparkan kerikil ke jendela, kuselipkan sepucuk surat disitu, harap-harap kau baca dengan seksama. Sebenarnya aku ingin menyelinap masuk ke rumahmu langsung. Tapi, begini-begini aku tak ingin disangka pencuri rendahan, sebab apa yang kucuri adalah seusatu yang tak bisa dikira harganya; hatimu.

Setelah itu aku lari begitu saja. sampai malam nanti, aku benar-benar kepikiran tak karuan. Tidak seperti pagi, malam begitu kejam. Membuatku tidak tenang. Apakah kau yang menemukan surat itu, atau malah ketahuan ayahmu. Hanya pagi yang akan memberi jawabannya. Makanya aku selalu takut bertemu malam.

Namun kali ini berbeda. Kali ini pagilah yang kutakuti. Kali ini, remang awan hitam keunguan yang jadi Pelepas dahaga rindu. Gegap aku cumbui gemerlap rembulan yang dekap kinaranya sinari sebagian bumi. Sebab tidak perlu kujelaskan lagi, bukan? Pada malam aku berjumpa denganmu. Menunggu dirimu menyebrangi mimpi. Hanya saat itu aku kembali hidup. Kembali menjadi manusia biasa. Yang terbatas pada ruang dan waktu. “Saat ini” menjadi sangat nyata. Sangat berharga karena kehadiranmu. Memang, sesuatu yang terbatas tentu saja akan berakhir. Namun itulah yang membuatnya bermakna. kita akan benar-benar menghargai setiap kefanaan yang berlalu. Berjalan denganmu, berbincang, membicarakan banyak hal entah itu penting atau tidak penting, tertawa, sampai menangis meratapi keadaan kita. Sampai tiba waktunya dirimu kembali, pagi nanti. Dengan durjana seirama risau hati, yang kerap datang kala Mentari menjelang.

Kuharap ini hanya hayalku saja. Bahwa malam akan benar-benar berakhir. Lalu dengan pagi membawamu pergi. kebersamaan kita akhirnya menjadi sendiri yang abadi. aku kembali takut. Seakan ini kali pertama aku dikutuk.         Tubuhku kembali dingin, menjadi kaku. Aku kembali tersadar bahwa saat ini aku akan menjadi seonggok boneka kayu yang selalu menemanimu di alam nyata sana.

Sebentar lagi alarmmu berdering. Kau akan meninggalkanku lagi. Sial, lagi. Perasaanku meronta-ronta sampai retak sebagian badanku. Kau juga ketakutan ya. Ah, aku mulai tidak bisa merasakan hangat tanganmu yang menggenggam tanganku. Tanganmu sudah gemetaran, menghujat keadaan kita yang malang. Namun apalah daya. Ini sudah waktunya, sayangku. Aku juga ingin bersamamu selalu. Berandai-andai bisakah asmara kita menjadi abadi. adakah malam bersemat kelam jadi tempat setitik pijar dan tetap jadi singgasana gulita yang kita duduki berdua. Layla, Biela, Aldebaran, Rahma, Cut nyak, atau siapapun dirimu nanti, bagaimana aku akan menjalani kesendirianku kembali?

 

-…-

Aldebaran yang gemetar kecemasan melihat penjaga kutukan itu kian meretak. Dirinya gamang. Takut momen-momen mereka Bersama akan hilang begitu dia terbangun. Namun laki-laki itulah yang paling menyedihkan. Dia akan terus terluka sampai laknat yang tak kelihatan ujungnya ini berakhir. Dalam suasana menyedihkan itu, sang lelaki malah menyeka air mata Aldebaran. Wajahnya yang kaku –namun menyembunyikan banyak luka –mencoba tegar. Dengan cepat manusia boneka itu menghentakkan Aldebaran yang mulai ngeri melihat retakan-retakan pada tubuh rapuhnya.

“Hei, lihat aku! tatap aku.” Tegurnya. “Tidak usah kau risaukan diriku. Memang begini keadaan kita. Bukankah Luka ini lah yang membuktikan besarnya cinta kita?”

Aldebaran menggeleng panik, “Tidak! Kenapa harus kamu? Kenapa? Apa yang salah dengan memperjuangkan yang sudah tumbuh mekar dalam sanubari kita?”

“Tidak ada yang salah. Sudah sepantasnya begini. Semakin mencari tujuan dari kemalangan ini, hanya akan membuat kita semakin sakit dan bingung. Bahkan di dunia nyata sekalipun, akan banyak kita temukan keberulangan aneh yang tak memiliki makna. Bangun pagi, sarapan, mandi, bekerja, pulang, bersedih, tidur, hingga bangun pagi kembali, hidup yang terus berulang itu akan membuat kita merasa kosong, dan mulai menanyakan adakah makna dibalik semua ini? Namun, jawaban yang kita dapati malah bermuara pada ketidakberartian hidup. Menanggapi hal itu, seringkali kita malah menciptakan tujuan ilusi yang lebih besar demi menghindari keputusasaan selama proses pencarian makna. Dunia ini memang diciptakan setidakmasuk akal itu.” Kemudian lelaki itu tertawa.

Tawanya yang lugas tergantikan dengan suara patah dari bawah. Tiba-tiba pergelangan kaki laki-laki itu remuk. Dia terjatuh. Tangannya yang kasar sedikit menggores pipi Aldebaran. Sesaat mereka sama-sama terdiam. Laki-laki itu melihat Aldebaran dengan perasaan malu dan sendu. “Jangan melihatku sedih begitu. Aku-“ Dengan tanggap Aldebaran meluncur kebawah. Membuat dia dan pujaannya berada di posisi yang sama. Mata mereka sejajar. Saling memandang tajam, seolah sedang membagi energi yang saling menguatkan satu sama lain.

Aldebaran yang tadi panik kini menarik nafasnya yang berat dalam-dalam. Dihembuskan pelan-pelan. Memegang kedua lengan boneka cacat itu dengan gemetar.

“Baiklah. Memang inilah yang terjadi kepada kita. Entah ini sebuah anugerah karena kita bisa saling mencintai selamanya, entah ini kutukan haramjadah yang membuat kita selalu menderita. Aku bersyukur telah memilihmu di masa lalu. Sampai saat ini tidak ada penyesalan atas keputusanku menerima perasaanmu yang begitu megah. Cinta yang besar bersamanya mengikuti resiko yang besar pula. Ketidakberdayaan kita saat ini memanglah sebuah penghinaan. Namun begitulah adanya. Kita hadapi penghinaan ini dengan hati yang lapang. Sedari awal kita memilih untuk bebas. Menjadi manusia yang tidak terikat dengan nilai palsu yang dibuat-buat. Inilah kebahagiaan kita.” Kali ini Aldebaran menunjukkan wajah yang haru memberikan semangat kepada sang boneka.

Namun, boneka itu terdiam tidak memberikan jawaban. Dia menjadi benda mati. Sungguh akhir mimpi yang kejam bagi Aldebaran. Kemudian dia melepaskan genggamannya. Lalu dia masukkan tangan kirinya pada sela lutut boneka itu. Sedang tangan kanannya menopang punggung kayu itu; Aldebaran mengangkatnya. Dia berjalan dengan lambat menuju pinggir danau. Perlahan bagian-bagian tubuh yang lain mulai hancur. Jemarinya patah satu persatu, rahangnya menga-nga kehilangan sendi. Aldebaran berusaha tidak menghiraukan hal tersebut, dia terus berjalan dengan tegar. Sesampainya mereka disana, diturunkan kekasih mimpinya itu. Diatur posisinya duduk menghadap danau yang dingin dan gunung-gunung yang diam membisu. Dia duduk disebelahnya. Disandarkan kepala boneka itu pada pundaknya. Aldebaran menyiulkan irama elegi. Entah kemana dia sampaikan rintihannya itu.

“Qais…” Aldebaran akhirnya menyebut nama boneka itu. “… dari dulu kau selalu bersyair sendirian menyelami perasaan cinta ini. Kali ini pun akan begitu. Maka, bertasbihlah Bersama zikir para bunga yang ada di dunia ini. Atau duduk saja menikmati malam yang tanpa diriku. Mungkin nanti, angin akan datang menengokmu yang dalam kecemasan, hendak mengantarkan kata yang tak sempat kuucapakan. Adalah nyanyian yang terpendam, tertanam dalam tahun-tahun yang kau lewati. Ikutlah bernyanyi dengan deru gunung dan batu-batu. Atau mengembara bersama senandung hujan. Kata-kata yang diantarkan langit bukanlah musuh. Dia adalah sahabat bumi yang menyiram kebun-kebun asuhannya. Itulah kinasih sanubari kita. Kita dengan cinta ini nyata. Jangan sampai matamu buta membacanya.” Seketika badan Qaispun hancur menyatu dengan tanah mimpi Aldebaran. Seketika alarm menarik paksa Aldebaran dari tidurnya.

 

fin.



Posting Komentar

0 Komentar