Oleh : Arinal
Penjaga Kutukan
Malam sekelebat
kelam berangsur padam tak kala menjumpai subuh. Namun rotasi semesta hanya
berlaku di dunia nyata. Disini, ruang dan waktu tidak bergeming, sedikitpun.
Apa yang bergerak; kabut yang bergumul dengan desir dedauan, air danau yang
diam-diam resah disapa angin, deru gunung yang menghenyakkan rumput sepanjang
sabana yang membentang, hanyalah penjara yang menahan kehidupan dan kematianku.
Aku hanyalah pendosa yang dikutuk seumur masa karena tindakanku di masa lalu. Tidak
ada apapun disini yang bisa kulakukan selain mengingatmu, Aldebaran. Itulah
satu-satunya harapan sekaligus sebab kutukan aku berakhir di tempat ini.
“Menurutmu, ini pertemuan
keberapa kita?” tanyaku sambil terkekeh.
Binar matanya
perlahan tertutup embun. “Masih penting menanyakan hal tersebut sekarang?”
Jawab Aldebaran.
Kekeh kecilku
menjadi tawa yang keras. Aldebaran benar. Pertanyaan itu sangat tidak penting.
Sebab kutukan ini hanya akan menghilang sampai kami bertemu di kali ke-1717
setiap seperempat abad atau kurang. Sedangkan saat ini mungkin baru perjumpaan
kami yang keseratus? Dua ratus? Atau mungkin baru dua belas kali? Aku tidak
ingat. Aku tidak peduli. Kenapa satu dan tujuh? Kata orang lama, satu dan tujuh
(atau tujuh belas) memiliki arti “aku mati sekarang”. Kutukan yang akan membuat
korbannya putus asa memohon kematian. Kenapa dua kedake? Aku tidak tau, mungkin
para pengutuk itu asal saja meminta hukuman yang pantas pada burung tujuh, salah
satu Phobetor yang dipanggil untuk menyengsarakan orang.
Aldebaran menghela
nafas sambil mengusap matanya. Menepuk-nepuk
kedua pipi. “Apa kamu masih menungguku?” Aih, dilontarkan pertanyaan yang sudah
punya jawaban pasti itu. “masihkah harus
menanyakan hal tersebut kali ini?” tanya ku balik. Aldebaran tersenyum manis, persis
seperti bentukan senyum saat dia menyecap La Valetta di kedai kopi
kesukaannya.
Sebenarnya ingin
balik ku bertanya, apakah dia masih memandangku sebagaimana
dahulu? Seperti desir pasir yang terus
bergesekkan dalam
tabung waktu, perasaan ini terus terasah melompati masa. Kendati demikian, cinta pula yang menjadi kesengsaraan
dari kutukan ini. Kami akan terus saling bersanding
rasa. Yang mengingat selamanya
hanyalah aku. Aldebaran, akan melupakanku tepat setelah mimpi ini berakhir.
Hanya menyisakan rasa sesak yang tidak akan ditemukan jawabanya hingga bangun nanti. Semakin dia mempertanyakan gemuruh dalam dada itu, semakin gundah
pula hatinya.
Aku meraih
tangannya dengan jemari yang sudah terkutuk ini. Mangajaknya berjalan-jalan
menikmati dunia yang hanya milik kami saja. Dunia dimana tempat
kami dirajam, dunia ini pula tempat kami menjawab rindu. Aku mulai menceritakan keseharianku selama disini. Biasanya aku
memancing di pinggir danau. Harap-harap aka nada ikan
yang menggigit umpan.
Tentu saja aku pemancing yang payah, sebab jangankan berharap mendapat tiga ton
ikan kakap merah, teri saja tidak sedikitpun mencoba melirik mata pancingku.
Ketika aku sudah
menyerah dengan skill memancingku, aku sesekali mengintip ke dunia. Caranya
sangat mudah, aku tinggal mangambil segenggam tanah di bibir danau, tinggal
kuhamparkan saja ke permukaan danau ini. Nanti akan muncul layar
persis seperti alat
komunikasi milik orang di era ini. Hal pertama yang akan muncul tentu saja kehidupanmu,
Biela. Kehidupanmu seperti fyp dari aplikasi penunjang informasi. Kalau benar
ingatanku, salah
satu fiturnya dihapus sebab merugikan UMKM.
“Biela ya, haha...”
Jawabmu sedikit terkejut. Tentu saja aku ingat. Itulah namamu saat pertama kali
paradoks lalim ini dimulai. Menarik saat nama itu menjadi nama komet yang
secara misterius menghilang dari orbitnya. Montaigne yang memberi nama itu
kalau tidak salah adalah cicitmu bukan? Hahaha.
-…-
Aku melihatmu,
terus melihatmu. Dalam wacana yang tak bisa ditawar lagi, aku berangan-angan,
akankah bisa mengenggam tanganmu yang hangat, dibasahi keringat yang keluar dari
pori-pori kulit. Ingin juga
kutemani dirimu
wahai pujaanku, saat kau takut-takut menemani Marry Wollstonecraft yang hendak
menyuarakan suara yang senyap. Padahal tak usah risau. Sudah benar Langkamu
itu. Sebagaimana versimu yang dulu, kau mengangkat rencong yang menusuk langit,
bersama Malahayati di selat Malaka melawan kafir Belanda. Saat tiba kita
bertemu, kau tak habis-habis bercerita tentangnya. Aku merinding. Sudah banyak kulihat
Perempuan menulis surat, berpuisi di jalanan, bahkan sampai mengacungkan jari
Tengah di hadapan penguasa, tapi Perempuan yang tak hanya menantang maut,
tapi mampu memimpin 2000 prajurit perempuan berjuang menjaga kehormatan bangsa.
“enggak habis piker aku dengan watak sang laksamana!” begitu ujarmu.
Oh ya, Jangan
bosan kau bercerita setiap kita berjumpa. Aku senang mendengarkanmu bercerita. Pipimu
akan merona bak tomat Italia. Matamu berbinar mengalahkan bola kaca diusap cahaya. Jemarimu
bergetar kegirangan menggambarkan fenomena yang kau lalui. Terkadang telingaku
agak panas mendengarnya. Ah, akukan tidak punya telinga disini, yohohoho! Hehehe…
tidak lucu ya. Padahal di anime yang ku lihat itu lucu. Eh, eh, tersenyum kau?
Memang masalah funny bolehlah skill itu di adu.
Dan Aromamu, meraksi
rasi Melati. Iya, seperti Melati, dirimu tidak hanya memikat, namun mengikat di
ingatan saat pertama kali harumnya dihantarkan udara, melewati hidung, memasuki
tabung penciuman, tepat disebelah amigalda dan hipokampus –keduanya adalah menteri
yang mengatur emosi dan memori dalam perbendaharaan jasad. Itulah sebabnya
dengan mengingatmu saja, dapat menggugah perasaan yang layu dirudung sepi
menjadi tegar penuh gairah. Seperti Melati juga, dirimu adalah “Hadiah dari
Tuhan” untukku, “Sang Ratu yang menyapa malam” --dimana tempatku bermukim.
--…--
“Malam mulai mencerahkan diri.
Purnama begitu hormat kepada Ratunya. Dia, bersama para Bintang berbaris rapi
menyilaukan langit. Akankah malam menjadi abadi untuk sang ratu dan si boneka
kayu yang sedang membayar rindu?”
--…--
Omong-omong Biela,
saat aku masih menjadi fana dahulu, masih mengerti rasanya terbakar matahari
atau tersengat
rembulan,
aku sangat mencintai pagi. Aku dengan pagi seperti berbagi asmara kami
masing-masing. Sang Mentari, dengan gagap gempita menyiram sebagian bumi.
Dengan percaya diri menjelajahi jendela-jendela rumah, mengintip kemesuman yang
sempat disembunyikan malam. Tidak ada yang jengkel ataupun marah tak kala
tertangkap basah olehnya. Berbeda ketika aku Bersama teman-temanku memergoki perselingkuhan
antara kepala desa dengan istri sahabatnya sendiri. Bisa kau bayangkan
bagaimana matanya melotot melihat kami? Seolah-olah kamilah yang salah. Si
Perempuan yang sedikit sadar diri itu, setidaknya masih mau menutup muka, sadar
berdosa. Maka setelah satu dua pukulan mendarat mulus di sekitaran perut atau
mukanya, barulah benar pikirannya untuk mengakui kesalahan.
Pagi juga membuat
kita merasa bahwa hari kemarin sudah berlalu. Mereka yang bagus tidurnya,
setelah cukup memupuk kekuatan semalaman, dipakainya kekuatan itu untuk
membangun gagasan dalam menjalani hari. Sebagian dari mereka ada yang memasak
untuk keluarga, ada juga sekedar duduk di halaman rumah, mencermati kicau
burung atau kopi panas yang masih berasap di atas meja. Sebagian lain ada yang sudah
meninggalkan tempat tinggal, Bersama pagi mereka meladang di kebun atau
melempar jala di tengah
samudera.
Pagilah yang membimbing. Bilamana hari kemarin ada masakan yang keasinan, atau
burung yang parau, atau kopi yang kemanisan, ataupun hasil yang tak memuaskan,
pagilah yang memberi harapan. Mengganti kesalahan lalu dengan
kesempatan yang baru.
Aku dulu juga
tidak mau kalah dengan pagi. Setiap pagi ada saja yang bisa kulakukan untuk –setidaknya—mencuri
perhatianmu. pesonamu nun dekat denganku, namun kau yang lahir sebagai anak
nazar, sudah dijodohkan bahkan sebelum dirimu pandai menentukan pilihan,
membuat harapan kita Bersatu membentang nan jauh. Kadang kala kutitipkan surat kepada anak
laki-laki yang ikut ayahnya mengambil buruan ke hutan. Rumahmu yang terletak di
pinggir desa mustilah dilewati mereka. Jika arah buruan telah berubah (di masa
lalu, demi menjaga kelestarian hewan buruan, para pemburu akan mengganti daerah
buruan mereka saat sudah memasuki waktu tertentu), maka aku akan memberanikan
diri menyelinap ke halaman rumahmu, kulemparkan kerikil ke jendela, kuselipkan
sepucuk surat disitu, harap-harap kau baca dengan seksama. Sebenarnya aku ingin
menyelinap masuk ke rumahmu langsung. Tapi, begini-begini aku tak ingin
disangka pencuri rendahan, sebab apa yang kucuri adalah seusatu yang tak bisa
dikira harganya; hatimu.
Setelah itu aku
lari begitu saja. sampai malam nanti, aku benar-benar kepikiran tak karuan.
Tidak seperti pagi, malam begitu kejam. Membuatku tidak tenang. Apakah kau yang
menemukan surat itu, atau malah ketahuan ayahmu. Hanya pagi yang akan memberi
jawabannya. Makanya aku selalu takut bertemu malam.
Namun kali ini
berbeda. Kali ini pagilah yang kutakuti. Kali ini, remang awan hitam keunguan
yang jadi Pelepas dahaga rindu. Gegap aku cumbui gemerlap rembulan yang dekap kinaranya
sinari sebagian bumi. Sebab tidak perlu kujelaskan lagi, bukan? Pada malam aku
berjumpa denganmu. Menunggu dirimu menyebrangi mimpi. Hanya saat itu aku
kembali hidup. Kembali menjadi manusia biasa. Yang terbatas pada ruang dan
waktu. “Saat
ini” menjadi sangat nyata. Sangat berharga karena kehadiranmu. Memang, sesuatu
yang terbatas tentu saja akan berakhir. Namun itulah yang membuatnya bermakna. kita
akan benar-benar menghargai setiap kefanaan yang berlalu. Berjalan denganmu,
berbincang, membicarakan banyak hal entah itu penting atau tidak penting, tertawa, sampai menangis meratapi keadaan kita. Sampai
tiba waktunya dirimu kembali, pagi nanti. Dengan durjana seirama risau hati,
yang kerap datang kala Mentari menjelang.
Kuharap ini hanya
hayalku saja. Bahwa malam akan
benar-benar berakhir. Lalu dengan
pagi membawamu pergi. kebersamaan kita akhirnya menjadi sendiri yang abadi. aku
kembali takut. Seakan ini kali pertama aku dikutuk. Tubuhku kembali dingin, menjadi kaku. Aku kembali tersadar
bahwa saat ini aku akan menjadi seonggok boneka kayu yang selalu menemanimu di
alam nyata sana.
Sebentar lagi
alarmmu berdering. Kau akan meninggalkanku lagi. Sial,
lagi. Perasaanku
meronta-ronta sampai retak sebagian badanku. Kau juga ketakutan ya. Ah, aku
mulai tidak bisa merasakan hangat tanganmu yang menggenggam tanganku. Tanganmu
sudah gemetaran, menghujat keadaan kita yang malang. Namun apalah daya. Ini
sudah waktunya, sayangku. Aku juga ingin bersamamu selalu. Berandai-andai
bisakah asmara kita menjadi abadi. adakah malam bersemat kelam jadi tempat
setitik pijar dan tetap jadi singgasana gulita yang kita duduki berdua. Layla, Biela,
Aldebaran, Rahma, Cut nyak, atau siapapun dirimu nanti, bagaimana aku akan menjalani
kesendirianku kembali?
-…-
Aldebaran yang
gemetar kecemasan melihat penjaga kutukan itu kian meretak. Dirinya gamang. Takut
momen-momen mereka Bersama akan hilang begitu dia terbangun. Namun laki-laki
itulah yang paling menyedihkan. Dia akan terus terluka sampai laknat yang tak
kelihatan ujungnya ini berakhir. Dalam suasana menyedihkan itu, sang lelaki
malah menyeka air mata Aldebaran. Wajahnya yang kaku –namun menyembunyikan
banyak luka –mencoba tegar. Dengan cepat manusia boneka itu menghentakkan
Aldebaran yang mulai ngeri melihat retakan-retakan pada tubuh rapuhnya.
“Hei, lihat aku!
tatap aku.” Tegurnya. “Tidak usah kau risaukan diriku. Memang begini keadaan
kita. Bukankah Luka ini lah yang membuktikan besarnya cinta kita?”
Aldebaran
menggeleng panik, “Tidak! Kenapa harus kamu? Kenapa? Apa yang salah dengan
memperjuangkan yang sudah tumbuh mekar dalam sanubari kita?”
“Tidak ada yang
salah. Sudah sepantasnya begini. Semakin mencari tujuan dari kemalangan ini, hanya akan membuat kita
semakin sakit dan
bingung. Bahkan di dunia nyata sekalipun, akan banyak kita temukan keberulangan
aneh yang tak memiliki makna. Bangun pagi, sarapan, mandi, bekerja, pulang,
bersedih, tidur, hingga bangun pagi kembali, hidup yang terus berulang itu akan
membuat kita merasa kosong, dan mulai menanyakan adakah makna dibalik semua
ini? Namun, jawaban yang kita dapati malah bermuara pada ketidakberartian
hidup. Menanggapi hal itu, seringkali kita malah menciptakan tujuan ilusi yang
lebih besar demi
menghindari keputusasaan selama proses pencarian makna. Dunia ini memang
diciptakan setidakmasuk akal itu.” Kemudian lelaki itu tertawa.
Tawanya yang lugas
tergantikan dengan suara patah dari bawah. Tiba-tiba pergelangan kaki laki-laki
itu remuk. Dia terjatuh. Tangannya yang kasar sedikit menggores pipi Aldebaran. Sesaat mereka
sama-sama terdiam. Laki-laki itu melihat Aldebaran dengan perasaan malu dan
sendu. “Jangan melihatku sedih begitu. Aku-“ Dengan tanggap Aldebaran meluncur
kebawah. Membuat dia dan pujaannya berada di posisi yang sama. Mata mereka
sejajar. Saling memandang tajam, seolah sedang membagi energi yang saling
menguatkan satu sama lain.
Aldebaran yang
tadi panik kini menarik nafasnya –yang berat –dalam-dalam. Dihembuskan
pelan-pelan. Memegang kedua lengan
boneka cacat itu dengan gemetar.
“Baiklah. Memang
inilah yang terjadi kepada kita. Entah ini sebuah anugerah karena kita bisa
saling mencintai selamanya, entah ini kutukan haramjadah yang membuat kita
selalu menderita. Aku bersyukur telah memilihmu di masa lalu. Sampai saat ini
tidak ada penyesalan atas
keputusanku menerima perasaanmu yang begitu megah. Cinta yang besar bersamanya
mengikuti resiko
yang besar pula. Ketidakberdayaan kita saat ini memanglah sebuah penghinaan.
Namun begitulah adanya.
Kita hadapi penghinaan ini dengan hati yang lapang. Sedari awal kita memilih
untuk bebas. Menjadi manusia yang tidak terikat dengan nilai palsu yang
dibuat-buat. Inilah kebahagiaan kita.” Kali ini Aldebaran menunjukkan wajah
yang haru memberikan semangat kepada sang boneka.
Namun, boneka itu
terdiam tidak memberikan jawaban. Dia menjadi benda mati. Sungguh akhir mimpi yang
kejam bagi Aldebaran. Kemudian dia melepaskan genggamannya. Lalu dia masukkan
tangan kirinya pada sela lutut boneka itu. Sedang tangan kanannya menopang
punggung kayu itu; Aldebaran mengangkatnya. Dia berjalan dengan lambat menuju
pinggir danau. Perlahan bagian-bagian tubuh yang lain mulai hancur. Jemarinya
patah satu persatu, rahangnya menga-nga kehilangan sendi. Aldebaran berusaha
tidak menghiraukan hal tersebut, dia terus berjalan dengan tegar. Sesampainya
mereka disana, diturunkan kekasih mimpinya itu. Diatur posisinya duduk
menghadap danau yang dingin dan gunung-gunung yang diam membisu. Dia duduk
disebelahnya. Disandarkan kepala boneka itu pada pundaknya. Aldebaran
menyiulkan irama elegi. Entah kemana dia sampaikan rintihannya itu.
“Qais…” Aldebaran akhirnya
menyebut nama
boneka itu. “… dari dulu kau selalu bersyair sendirian menyelami perasaan cinta ini. Kali ini
pun akan begitu. Maka, bertasbihlah
Bersama zikir para bunga yang ada di dunia ini. Atau duduk saja menikmati malam
yang tanpa diriku. Mungkin nanti, angin akan datang menengokmu yang dalam
kecemasan, hendak mengantarkan kata yang tak sempat kuucapakan. Adalah nyanyian
yang terpendam, tertanam dalam tahun-tahun yang kau lewati. Ikutlah bernyanyi
dengan deru gunung dan batu-batu. Atau mengembara bersama senandung hujan.
Kata-kata yang diantarkan langit bukanlah musuh. Dia adalah sahabat bumi yang
menyiram kebun-kebun asuhannya. Itulah kinasih sanubari kita. Kita dengan cinta
ini nyata. Jangan sampai matamu buta membacanya.” Seketika badan Qaispun hancur
menyatu dengan tanah mimpi Aldebaran. Seketika alarm menarik paksa Aldebaran dari tidurnya.
fin.
0 Komentar