Panduan Singkat Merebut Posisi Tuhan demi Kebenaran

 Dirakit Oleh: Alek

Kebenaran dari seseorang bukan karena dia punya kekuasaan, namun karena dia punya logika dan mampu merasionalkan suatu kondisi. Kebenaran seseorang berdasarkan status sosial sama saja dengan otoritas mendahului verifikasi. Mereka bukan Tuhan, dia bukan Muhammad dan aku bukan Musa. Nabi Musa secara langsung berbicara dengan Tuhan, Nabi Muhammad secara langsung ketemu Tuhan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, dan kita hanya bertemu dengan para bedebah berdasi mereka yang suka ingkar janji dan korupsi. Mereka semua bukan para Nabi, namun seolah apa yang mereka katakan melewati ambang batas kebenaran para Nabi dan para Dewa. Kita adalah para Nabi, Nabi yang melakukan perlawanan terhadap kebenaran dogma otoritas. Bagi mereka yang terus membabi buta menghakimi, menjadikan dirinya Tuhan. Pemuka agama di mimbar memberikan kebenaran, penafsiran firman Tuhan menurutnya, dan umat terus dibodohi untuk mendapatkan amplop di akhir pembicaraan. Agama menjadi komersil, Agama tidak lagi sarat sebagai nilai spiritual, namun Agama bagaikan pasar modal untuk melipat gandakan keuntungan. Siapa yang melakukan apa akan dikali berapa, namun permasalahan sosial terabaikan, mereka yang tidak bisa makan hari ini tidak pernah menjadi kalkulasi apabila hal itu terjadi dikali berapa dosa kita hari ini.

Sejarah agama telah mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Ada alasan kuat untuk berpendapat bahwa Homo Sapiens[1] juga merupakan Homo Religius[2]. Manusia akan berpikir ketika melihat fenomena sebagai sikap alamiah. Manusia mengenal terlebih dulu, kemudian berpikir baru menemukan agama untuk disembah. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia, mereka menciptakan agama-agama pada saat yang sama ketika mereka menciptakan karya-karya seni.

Sebagaimana seni, Agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya. Agama sebagai media untuk menemukan hidup, namun ditafsirkan dongeng Firdaus semata. Hakikat sosial kita abaikan karena nilai yang terus kita kejar sebagai bentuk komersil dalam beragama serupa menjual karya seni, agama tidak lagi sebagai penghambaan. Seni bisa kita maknai sebagai metode untuk mengungkapkan ekspresi, kemudian menikmati dan dihayati. Demikian juga dengan agama, Agama adalah bentuk penghayatan seorang hamba dengan Tuhannya. Hanya hamba itu sendiri yang bisa menilai ketaataan, kita hanya mampu menilai secara objektif fisik. Kita tidak mampu untuk menembus batin hamba untuk mengetahui apa yang dia lakukan, apa yang sedang dipikirkan, namun kita telah menjadi Tuhan, kemudian melabelkan dengan stempel kejahatan. Yang berbaju rapi dan berambut klimis serupa melihat kebenaran yang turun dari Tuhan, namun stigma berubah ketika kita melihat badan yang penuh dengan coretan tinta yang menjadikan badan kanvas lukisan, stigma Tuhan tak bisa kita stempelkan, melalaikan stigma keburukan, neraka dan kejahatan. Kedengkian serupa menjadi candu dalam melihat agama, menutupi kebenaran yang ada. Kita lupa yang rapi dan klimis adalah pelaku utama korupsi yang memiskinkan rakyat.

Seperti aktivitas manusia lainnya, agama dapat disalah-gunakan, bahkan tampaknya justru itulah yang selalu kita lakukan. Agama yang dibangun untuk menutupi kesalahan untuk mendapat makan di hari esoknya.  Ini bukanlah hal yang secara khusus melekat pada para penguasa atau pendeta sekular yang manipulatif, tetapi adalah sesuatu yang sangat alamiah bagi manusia. Manusia yang dipenuhi dengan kedengkian, akan diisi dengan rasa kekurangan dan tidak akan pernah merasa cukup, akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hal yang sama juga terjadi pada ateisme. Pernyataan "saya tidak percaya kepada Tuhan" mengandung arti yang secara sepintas berbeda pada setiap periode sejarah. Orang-orang yang diberi julukan "ateis" selalu menolak konsepsi tertentu tentang ilah. Apakah "Tuhan" yang ditolak oleh ateis masa sekarang adalah Tuhannya para patriarki, Tuhan para nabi, Tuhan para filosof, Tuhan kaum sufi, atau Tuhan kaum deis abad ke-18? Semua ketuhanan ini telah dimuliakan sebagai Tuhan Alkitab dan Al-Quran oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam pada berbagai periode perjalanan sejarah mereka. Kita akan menyaksikan bahwa mereka sangat berbeda satu sama lain. Memahami Ateisme, sama dengan memahami jalannya sejarah. pemaknaan akan adanya Tuhan, bukan hanya Tuhan secara fisik ataupun ghaib, namun juga Tuhan yang ada dalam diri kebaikan manusia. Kita bisa berasumsi ketika ada peristiwa kejahatan, telah hilang sifat kebaikan Tuhan dalam diri manusia.

Renaissance bentuk untuk melawan dogma agama yang terjadi di Eropa. Inggris yang keluar dari Kekaisaran Romawi Suci untuk menemukan kebaikan sendiri. Kemudian menanggalkan ajaran Kekaisaran Romawi Suci. Ajaran Kekaisaran Romawi Suci semata-mana nilai agama menjadi otoritas tertinggi, semua kebenaran ada pada pemuku agama. Inggris yang kemudian menyadari adanya ketinggalan dalam bangsa mereka, kemudian membentuk suatu peradaban baru yang kita kenal dengan Renaissance. Peradaban yang lebih mengutamakan rasionalitas, mengubah daratan Eropa menjadi pusat penelitian dan banyak teknologi yang ditemukan.

Keberhasilan ini yang membuat bangsa eropa merasa kekurangan akan kebutahan bahan baku, sehingga mereka melakukan penjajahan ke berbagai negara, tak terlepas negara-negara Asia. Dampak dari ekspansi yang dilakukan bangsa inggris sebagai bentuk kemajuan peradaban barat adalah merusak lingkungan untuk kebutuhan konsumtif dan kebutuhan industrial. Ketika penemuan dan penelitian terus dilakukan sebagai perlawanan gereja, penjajahan baru dilakukan untuk memenuhi sifat konsumtif. Kaum pemodal akan semakin kaya dan berkuasa, sedangkan kelas proletan yang perekonomian dekat dengan garis kemiskinan kian ditindas.

         Metode dalam menafsirkan agama terus mengalami perdebatan, antara agama manusia dan agama Tuhan untuk mencari titik kebenaran. Hakikatnya agama adalah milik Tuhan, namun ketika agama diturunkan ke bumi dan diamalkan manusia, agama tersebut menjadi agama milik manusia. Jika melihat agama sebagai milik Tuhan, artinya Tuhan sekarang berada bersama kita untuk mengamalkan nilai agama. Cerita Muhammad yang langsung menerima teguran dan perintah secara langsung dari Tuhan adalah bentuk komunikasi dengan hamba. Bumi dan langit terasa begitu dekat. Tuhan sedikit-sedikit ikut campur.

Fenomena sekarang ayat Tuhan dipermainkan untuk jabatan, melelang ayat untuk mendapatkan kepercayaan. Kejahatan mengatasnamakan agama, Menteri Agama melakukan korupsi, penegak hukum jual-beli kasus, mereka semua disumpah dengan nama agama, namun Tuhan tidak menegur mereka. Entah Tuhan telah hilang, atau Tuhan mengabaikan mereka.

Agama bukan candu yang membutakan. Agama adalah cahaya untuk membawa hamba ke depan kebaikan dengan kebenaran yang sejatinya. Akhir adalah awal untuk yang baru, Bukan menang atau kalah, tapi bagaimana kita berjuang untuk mecapai puncak ajaran agama yang sejati. Kita adalah para Nabi yang bisa untuk melanjutkan kebaikan ajaran agama, kita adalah Nabi untuk menyebar-luaskan agama. Agama adalah kebaikan, Kenabian adalah metode untuk menyampaikannya.

Sumber:

Armstrong, Karen, 2001, “Sejarah Tuhan; Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen Dan Islam Selama 4000 Tahun”. Bandung, Penerbitan Mizan.

Seprtianingrum, Anisa. 2017. “Revolusi Industri Sebab Dan Dampaknya” Yogyakarta, Sociality.


[1] Menurut KBBI Homo Sapiens adalah manusia yang hidup di bumi pada masa kini; manusia yang berpikir.

[2] Menurut sifat hakiki manusia adalah mahluk beragama (Homo Religius) yaitu mahluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan atau referensi sikap dan perilakunya.

Posting Komentar

0 Komentar