Pancingan Tanpa Kail

Oleh: Arinal

Bangun tidur sampai bemimpi kembali 

“Tidak! Aku tidak mau begini! Kenapa harus kamu-.“ Dilepasnya pelukan kuatku, ada retakan tepat di sekitaran tulang rusuknya. Aku gemetar, alisku mengerut dalam, hampir-hampir berdarah bibirku jika tidak diusap oleh ibu jarinya yang kaku, disambut selanjutnya air di pipiku oleh telunjuknya.

”Sudah sepantasnya begini … ” Ia tidak menunjukkan senyum, tapi aku tau dia tersenyum.

Kriingg … kriingg … kringg …” Suara alarm pagi menarikku dari mimpi.

“Ahh … kepalaku sakit.” Gumamku. Kugosok mataku yang setengah terbuka, lalu kubersihkan sedikit kotoran yang ada di ujung mata.

Jam menunjuk pukul tujuh pagi. Sial, aku terlambat. Hari ini aku sudah ada janji dengan dosen untuk bimbingan skripsi. Aku bergegas seadanya; mandi sekena airnya, sikat gigi, cuci muka, menutup kotak musik berisikan patung seorang anak kecil yang senantiasa bernyanyi sepanjang malam agar lelap tidurku, lalu akupun keluar. Aku bukan tipe yang suka make-up, jadi seadanya saja sudah cukup. Rasanya tidak ada waktu untuk memikirkan penampilan jika sudah mahasiswa akhir begini. Walaupun dari dulu juga penampilan itu nomor sekian. Setelanku hanya sebatas tas untuk membawa laptop, kaos—album metal yang aku tak tau satupun lagunya—dari pasar loak, kemeja kotak-kotak merah, celana jeans biru yang sudah terlihat pudar pada bagian lutut.

Kunyalakan gawai pintarku, ternyata Danial sudah menghubungiku 30 menit yang lalu. Pesannya sudah banyak menumpuk, kebanyakan isinya spam, selebihnya omelan. dia galak sekali soal kedisplinan. Padahal kami baru kenal bulan lalu. Kami dikenalkan oleh orangtua  kami yang kebetulan adalah teman sekampus tempo dulu. Awalnya aku terkejut, tapi aku bukan tipe yang terlalu peduli soal pilihan. Jika dia mau menerima ku apa adanya, dan aku juga merasa nyaman, saran dari orang tuaku ini akan kupertimbangkan. Dan sepertinya kami tidak menemukan masalah apapun dengan itu. 

“Cepat turun! Aku di depan!” Tegurnya.

Gawat, rupanya dia sudah di depan. Pantas saja marah-marah. Soalnya, dia tidak bisa begitu saja naik ke kamar ku yang terletak di lantai dua. Kostan ku itu khusus putri, laki-laki hanya boleh sebatas mengantar sampai pagar, selebihnya tidak boleh. “Walaupun dia tunanganmu, kalau belum sah tetap tidak boleh.” Begitu kata ibu kost. Dia menjemput karena permintaanku semalam. Padahal semalam aku setengah serius memintanya untuk menjemputku, takut-takut memberatkannya, bagaimanapun aku tidak serta-merta menangguhkan diri pada orang lain. Tapi diperhatikan seperti ini, boleh juga.

Untuk menghargai lusinan pesan yang memenuhi ruang pesanku, aku hanya membalas emotikon tanda titik dua dan huruf ‘v’ dilanjut dengan, “ehe”. Aku menuruni anak tangga dengan tergopoh-gopoh karena tidak enak hati membuat orang menunggu. Mengesalkan, aku tidak terbiasa dibikin terburu-buru begini, biasanya ada saja yang terlupakan. Tapi mau bagaimana lagi, ini permintaanku. Setelah keluar dari pintu kost menuju pagar, benar saja, dia sudah siap dengan sepeda motor Astrea antiknya. Katanya “old still gold.” Percaya diri sekali orang ini.

“Ais … helmmu!” Sambil mengangkat dagunya kurang lebih 38 derajat.

Nahkan, apa kubilang, ada saja yang terlupakan. “O iya! Sebentar…” Langsung kuputar badan 360 derajat lebih sedikit untuk mengambil helmku di dekat tangga, karena memang disitu letaknya bersama helm-helm milik penghuni kost yang lain. Segera setelah helm milikku aku pasang di kepala, kuputar diri tanpa menghitung lagi berapa derajat putarannya, langsung melesat ke arah Danial. “Sudah!” Kataku sambil berlari. Dihidupkan Kembali motornya itu, memang butuh beberapa engkolan. Maklum, motor bu- Maksudku antik.

“Rengteng teng teng teng …” Kira-kira begitulah suara motornya, artinya sudah siap untuk dikendarai. “Oke, naik.” Perintahnya.

“Oke, Pak.” Kupegang bahunya agar benar posisiku naik ke kursi motor bagian belakang.

“Aman?”

“Aman.”

“Gas?”

“Gas …”

“Oke?”

“Ish, oke!”

“Haha, oke!” Danial memutar gas motornya, melesat menuju kampus. Danial ini, anaknya disiplin tapi suka usil di detik-detik terakhir.

-…-

Tak pernah terlintas dibenakku akan mudah akrab dengan orang asing sebegini cepatnya. Diriku termasuk kuperdalam ranah sosial dan acuh terhadap sosial pula. Walaupun ikatan kami punya cukup alasan untuk mengenal lebih cepat satu sama lain, kita harus tetap membatasi diri karena kita tidak benar-benar tau orang tersebut, bukan? Terburu-buru juga tidak baik. Jeffrey Hall, seorang peneliti komunikasi interpersonal dari University of … aku lupa namanya, juga menyarankan untuk tidak terburu-buru. Kata dia, masih ada 3 hingga 4 bulan untuk kamu benar-benar bisa memutuskan apakah seseorang bisa dijadikan teman atau tidak. Meskipun begitu, menurutnya untuk membangun hubungan yang akrab, dapat dipercaya, setidaknya membutuhkan waktu yang berkualitas selama 90 bahkan hingga 200 jam dalam beberapa minggu pertama sehingga keakraban tersebut bisa terwujud.

Aku tidak tau pasti waktu yang berkualitas itu bagaimana, tetapi jika waktu berkualitas disini termasuk berbicara lebih dalam terkait diri masing-masing, tukar pikiran, meluangkan waktu bersama, saling mungungkapkan rahasia kecil yang memalukan, atau mengeluh kesibukan masing-masing, sepertinya baru sebatas tujuh puluh jam? Kata Jeffrey itu masih dalam kategori teman yang asik diajak bicara. Walaupun kami sudah saling kenal selama sebulan, kami sudah membuat kesepakatan untuk fokus dengan apa yang menjadi tanggungan kami. Aku dengan kuliahku, dan dia dengan hobi yang menjadi pekerjaannya. Oleh karena itu kami tidak banyak menghabiskan waktu bersama.

Oh iya, aku lupa bilang dia bekerja paruh waktu sebagai fotografer tepat setelah tiga tahun lamanya pasca dia wisuda dari jurusan Teknik Nuklir. Memang sih tidak nyambung, soalnya dia masuk jurusan itu karena iseng daftar SNMPTN waktu SMA dulu. Jika dia menolak, sekolahnya akan di blacklist dari kampus tersebut. Katanya dia percaya diri sekali tidak lewat—padahal nilai UN nya rata-rata 90—makanya daftar. Tujuannya waktu itu ingin ikut bimbel Bersama mantannya yang kebetulan akan mendaftar SBMPTN (yang putus setelah dua minggu menjalin hubungan jarak jauh). Memang orang pintar aneh saja pola pikirnya.

“Bagaimana dengan studionya?” Dia pernah bercerita tentang studio pribadi yang hendak dia bangun.

“Oh itu, aku sudah memesan lighting eksternal dan payung reflector. Saat ini itu dulu. Untuk latar masih seadanya saja; Kain kafan.”

“Ha? Serius kain kafan?”

“Soalnya kain kafan kan murah.” Jawabnya yang tak memberikan kejelasan.

“Ish, serius.”

“Haha sudah, nanti saja. Kamu sendiri, tinggal revisikan?”

“Iya, harusnya tinggal beberapa bimbingan lagi kita sudah bisa menikah.” Ujarku sedikit menggoda.

“Haha bisa saja. Emang buru-buru sekali ingin menikah? Atau kamu penasaran dengan yang lain setelah menikah?” Danial sialan ini malah balik menggodaku.

“Eh, enggak ya weih. Genit sekali pikiranmu.” Kucubit perutnya geram.

“Ou! Kita sedang di jalan ini!”

“Rasain!”

Kami tertawa selama perjalanan menuju kampus. Harus kuakui anaknya agak frontal. Aku kadang dibikin bingung dengan tingkahnya yang terkadang terlihat polos tapi tiba-tiba melunjak. Sebenarnya ini kali pertama aku dibonceng dia. Sebelumnya jika ingin bertemu, kami hanya sebatas janjian di café atau tempat nangkring saja. Aku sendiri sering naik ojek online untuk ke kampus atau jika kantong mulai mengering, aku akan bersiap lebih awal agar tidak ketinggalan angkutan transkota. Murah sih, tiga ribuan sudah bisa keliling menyusuri kota. Tapi untuk orang yang suka bangun kesiangan sepertiku, pilihan pertama yang selalu aku turutkan.

Sesampai di kampus aku bergegas turun dari motor Danial, kami berpamitan sekadarnya, langsung melesat menuju ruang bimbingan yang terletak di lantai satu, dekat ruang tata usaha. Kubuka pintu ruangan setelah ku ketuk tiga kali sambil menyodorkan kepalaku dahulu. Mataku merayap ke sudut-sudut ruangan mencari sosok yang akan meninjau tulisanku. “Assalamu’alaikum …” salamku itu sepertinya memecahkan keheningan ruangan itu. “Wa’alaikumsalam. Masuk, De.” Balas Bu Ratna sedikit melirik ke arah pintu lalu Kembali fokus pada berkas-berkasnya, mungkin saja itu tugas-tugas adik tingkat atau persoalan administrasi kampus yang tidak kuketahui, soalnya beliau juga menjabat sebagai kepala program jurusan. Aku segera masuk ruangan lalu kuputar badanku untuk menutup pintu dengan pelan. Aku melangkah kikuk menuju Bu Ratna sambil mengeluarkan skripsiku dari ransel, ku pegang setengah erat menghayalkan kalau-kalau kertas itu menyembur dari genggamanku dihari yang dijanjikan ini. Pasti memalukan. 

“Ini, Bu. Saya sudah memperbaiki apa-apa yang sudah ibu koreksi.” Kataku. Aku memutar tulisan itu sesuai pandangan Bu Ratna, supaya tidak usah beliau yang memutarnya. Lembar demi lembar tersapu begitu saja, sepertinya sudah mantap tulisanku. Matanya bekerling dari sudut halaman sampai ke sudut lainnya, kiri ke kanan, atas kebawah, terkadang serong saja lalu lanjut ke halaman lain. Memerhatikan Bu Ratna membuatku penasaran pada sistematika bimbingan penelitian di kampus. Bagaimana tidak, aku pribadi sudah kalang kadut dengan tulisanku sendiri. Bangun pagi saja tidak ada yang namanya membersihkan tempat tidur, mandi, sikat gigi, lalu sarapan. Yang ada menulis! Siang hari tidak ada yang namanya tidur siang, makan siang. Yang ada menulis! Sore hari tidak ada yang namanya menyeruput kopi bermaniskan senja. Yang ada menulis! Bahkan malampun tidak ada yang namanya tidur tepat waktu, memanjakan kulit dengan seperangkat alat make-up, yang ada rangkap makan siang-malam, tidur di sepertiga malam, itupun setelah menulis! Syukur-syukur paragraf dalam tulisanku tidak ada yang jumping. Kata Bu Ratna jumping itu ketidakada hubungan isi pembahasan antara paragraf sebelumnya dengan paragraf selanjutnya. Katanya tidak bagus. Itu tulisan yang buruk. 

“Baik, tulisannya sudah bagus. Kamu tinggal perbaiki typo pada halaman 30 dan 52. Setelah itu kamu sudah siap untuk sidang. Selamat ya, Aldebaran.”  Lamunanku tiba-tiba pecah begitu saja oleh pernyataan Bu Ratna. Aku antara percaya diri dengan tulisanku atau Bu Ratna sudah bosan melihat wajahku, apapun itu tetap saja menguntungkanku, bukan? “Ah… terima kasih, Bu. Saya juga sudah mendaftarkan diri untuk sidang awal bulan nanti.” Ucapku cepat. “Wah, untung tepat waktu ya.” Kata Bu Ratna. Setelah itu aku meraih tangan beliau, mencium tangannya, berpamitan sambil sedikit membungkuk sebagai tanda hormat dan terimakasihku, segera aku keluar dari ruangan.

Ah, senang sekali! Akhirnya selesai sudah lika-liku perseteruan duniawi ini. Aku melewati Lorong kampus kegirangan, kakiku rasanya gatal pada bagian tumit dan lutut, sadikit-sedikit aku melompat kecil. Sembari keluar dari Gedung kampus, aku membayangkan bangun pagiku yang cerah, telingaku tidak lagi mendengar lalu-lalang motor dan mobil, tapi gesekan angin dengan daun. Hidungku tidak lagi panas oleh kanlpot pegawai yang mencari makan siang, tapi sejuk embun pagi yang menggelitik. Siangnya aku bisa makan tepat waktu. Sorenya aku bisa berlama-lama dengan kopi, menjadi pujangga yang hanyut dalam kilau senja berwarna jingga keemasan itu. Malamnya aku bisa menggosok gigi, mencuci kaki dan muka, lalu tidur cantik sebelum bulan tepat menapaki ubun-ubun.

Tentu saja aku menghubungi seluruh kerabat dan keluargaku, Berkata bahwa sidangku sudah ditentukan, artinya aku akan wisuda dalam tahun ini. Ibu ku senang sekali. Beliau memanjatkan doa yang panjang, rasa-rasa doanya akan mengantarkanku ke surga sekarang juga. Tante dan pamanku sudah mulai menyinggung pernikahan, menyebalkan. Kata mereka secepatnya saja, biar tidak jatuh dalam zina. Jatuh dalam zina apaan, dibonceng motor saja baru kali tadi. Aku juga menghubungi Danial. Dia lebih menyebalkan. Dia cuman menulis, “selamat ya” pakai titik. Aku juga menjawab, “terimakasih” pakai titik. 

Aku mengelilingi sudut-sudut kampus mengenang empat tahun pengabdianku. Aku menyusuri kantin dimana biasa aku menyantap sarapan atau bercengkrama dengan mahasiswa lainnya. Di sebelah kantin, ada jalan keluar Gedung dengan empat anak tangga menurun didepannya. Aku juga pergi menuju Gedung auditorim tempatku mendapati masa orientasi perkenalan kampus. Tentu saja budaya— senior yang berkobar-kobar— menyalahkan setiap tingkah mahasiswa baru masih berlaku di masa itu. Aku sebenarnya bosan dengan akting mereka. Aku sudah selesai membaca hikayat drama senior yang berpura-pura jahat. Alasannya supaya mental kami kuat. Mendengar alasan itu, aku membayangkan apakah nanti kami akan bertemu salamander eropa atau ular naga tiongkok, atau bangsawan vampir, atau hantu penunggu rawa atau kami harus berhadapan dengan diktator perang dunia kedua yang kejam sehingga mental kami harus ditempa sedemikian rupa. Di lain sisi, akan ada senior yang mengelus pundak menenangkan. Memberi petuah untuk tetap kuat dan bersabar. Mereka berperan menjaga kewarasan mahasiswa baru jika sewaktu-waktu tidak terima dirudung begitu. Merekalah yang menjadi tokoh pahlawannya dalam kisah orientasi pengenalan kampus itu. Lalu pada tahap kesimpulan cerita, mereka semua mengakui bahwa apa yang terjadi semuanya adalah sandriwara, pemanis yang dibuat-buat. Akhir cerita yang tidak akan mengecewakan semua orang. Meski sempat kesal dengan segala perlakuan mereka waktu itu, namun hari ini aku mengingatnya sebagai kenangan yang lucu. Kini sedikit lagi aku akan selesai. Langkahku di kampus akan menjadi Langkah-langkah terakhir, sebelum akhirnya benar-benar berakhir. 

Tidak sadar aku menghabiskan waktu di kampus sampai petang. Sebenarnya, banyak waktu habis karena melamun di kedai kopi langganan mahasiswa kampusku. Lokasinya masih ada didalam teritori kampus. Dirasa sudah cukup nostalgianya di kampus, Aku menghubungi Danial. Kuminta dia menjemputku. Dia menyanggupi akan menjemput setelah maghrib, sedang ada urusan katanya. Aku mengiyakan saja. Aku kembali menyeruput kopi buatan mas-mas barista kedai itu. Jujur kopinya tidak senikmat kopi kampung halamanku. Kopi kampung halamanku itu punya aroma yang khas, begitupun rasanya. Aromanya menyerbak wangi beri yang masak sedikit ada harum melatinya. Rasanya sendiri bisa tergantung pengolahan, tapi begitu lidah sudah basah oleh kopi, kita tidak hanya bertemu pahit yang ditakuti penikmat matcha atau teh dari Thailand. Disana ada asam asin dari keringat petani kopi, manis nan samar-samar bersembunyi dibalik kenyataan yang menyakitkan, menunggu tampil diakhir sebagai obat penawar kesedihan. Nantinya air kopi itu mengalir ikut membasahi kerongkongan, dan melegakan setelah Lelah berjuang . Lambung yang tadinya panas, akan sejuk, ikut dengannya mengajak otak untuk fokus kembali, jangan sampai terlena dengan kedamaian. Sebab hidup tidaklah final. Melainkan awal untuk menjalani babak yang baru.


-…-


“Aku sudah di depan. Mau aku masuk atau kita segera pulang?” tulis Danial dalam pesannya. Danial sampai setelah Isya, bukan maghrib.

“Baik, tunggu disitu. Tapi aku mau jalan-jalan dulu, boleh?” aku membalas. Aku tidak ingin langsung pulang. Aku mau melelahkan diri sedikit lagi. Supaya tidurku pulas. “Boleh kutanya kita mau kemana?” tanya Danial penasaran. “Tak usah kau tanya aku ceritakan nanti.” Balas pesanku ditutup dengan titik dua dan tutup kurung. Danial hanya mengirimkan stiker presiden kita yang sedang mengacungi jempol.

Aku meminta Danial menemaniku ke jalan yang penuh dengan romansa, jalan dengan karangan bunga julukannya. Kataku bawa aku jalan, jalan-jalan menyusuri kota. Danial memang dingin, bukan berarti hilang pekanya. Dia tau aku sedang mengalami kekosongan sesudah tujuan utamaku mulai bukan tujuan lagi. Kami berhenti di kantor pos di pinggran jalan untuk meletakkan motor di parkiran yang sudah di sediakan disana. Kami akan jalan, berjalan kaki seperti Rousseau. Filsuf yang tergila-gila berjalan itu menemukan titik terang dalam hidup saat dia menyusuri jalan dari Venezia hingga Paris,—tentu kami tidak akan berjalan lintas kota seperti dia—kota Roman di Prancis. Kata dia berjalan bukan sekedar melangkahkan kaki, lalu disambut oleh Langkah kaki yang lainnya. Tapi berjalan adalah melambatkan pelan-pelan mengulik Kembali sebuah kenangan. Merasakan kembali momen manis kehidupan yang dulu sempat lupa oleh lelah dan sedih. Apakah momen itu masih sama manis? Atau malah lebih manis, pada gigitan keduanya?

Jika sesak dengan setumpuk tuntutan dan tanggung jawab, berjalan juga akan membawa kita melupakannya sebentar. Kita berjalan melupakan tuntutan dosen yang uring-uringan, ekspektasi besar dari ayah-ibu,  percekcokan dengan pasangan, sewa kost yang mandat, barometer bensin motor yang selalu menunjuk huruf ‘E’, lalu terpaksa menyadari ruang dompet kita yang juga meminta untuk diisi. Meski hanya sejenak, kita berjalan untuk melupakan, dunia yang “terlalu berlebihan bagi kita”. Ya, meski hanya sejenak. 

Langkah pertama dilanjut langkah kedua, ketiga, keempat, …, hingga pada Langkah kesekian itu ku coba membuka suara. 

“Hei, Dan …” aku menegur dahulu.

“Hmm … iya?” Danial menoleh.

“Aku mau mendengar kau ceritakan kota ini.” Aku menuntut.

“Kau mau aku ceritakan apa? UMR disini? Lebih baik cari kerja di Ibu kota saja. Disini gajinya kecil.” Sahutnya terkekeh.

“Aish, bukan itu! Apa saja tapi bukan itu.” Mulai lagi Danial ini.

“Haha, bercanda. Aku harus mulai darimana ya? Kalau begitu kita mulai dari pertanyaan saja, menurutmu apa kata orang terhadap kota ini?”

“Kota pelajar? Kota seni? Kota perjuangan? Banyak sekali julukannya.” Mataku lurus memandang ke depan, sambil kuperhatikan lampu jalan yang remang kejinggaan, ada juga yang gelap gulita, barangkali karena bohlamnya putus. Dibawah lampu jalan tersebut ada seorang bapak paruh baya yang sedang jongkok menuangkan air panas ke dalam segelas plastik berisikan bubuk kopi. Disisi lain, ramai-ramai orang menyaksikan pertunjukan topeng monyet yang biasa menempati jalan itu.

“Kata orang kota tempatmu berkuliah sekarang ini adalah kota yang istimewa. ‘Daerah Istimewa’ di depan namanya lahir dari kepercayaan orang-orang. Orang-orang percaya, maka orang-orang mewujudkannya. Orang yang jatuh hati disini percaya pertemuan mereka diarahkan oleh jalan setapak yang kita lalui ini. Kilau mata yang terpantul semakin indah oleh cahaya lampu jalannya. Angin gunung yang turun dari utara sana mendorong mereka semakin dekat. Bahkan senjapun, ikut andil memupuk perasaan yang kian menghangat. Orang yang mencari kerja disini juga tahu dan percaya apa yang mereka kejar disini tidak menuntut mereka untuk kaya, tapi damai semata. Bertemu dengan HRD yang membikin tegang urat di belakang punuk, pulang-pulang mereka tinggal mampir ke angkringan. Menyeruput kopi sejenak, mengisi perut ala kadarnya, mengeluh ini dan itu, sampai urat yang tegang tadi mengendur Kembali. Pelajar disini percaya menimba ilmu di kota ini sama halnya seperti cara belajar Plato di pasar Athena. Mereka hanya memantik ilmu sekedarnya saja di bangku Pendidikan, sekeluarnya dari kelas mereka akan berjumpa lagi di ruang yang lebih bebas, sebuah Pendidikan tanpa tuntutan, tanpa peringkat, hanya menertawakan kebodohan masing-masing, menyerap apa yang kita rasa cukup untuk menjalani hidup, lalu dibagikan kembali ilmu tersebut ke teman-teman yang lain. Rasa yakin pada tiap-tiap diri mereka itulah yang membangun kota ini. Setidaknya begitulah yang aku percayai.”

 “Jadi maksudmu semua infrastruktur, tatanan jalan, peraturan daerah, sejarah, bukan alasan yang menjadi ciri dari kota ini, Melainkan rasa percaya?” tanyaku beberapa saat setelah mencerna kalimatnya yang panjang. “Bukankah penguasa pertamanya menciptakan garis hayal yang membentang dari utara menuju selatan sehingga menjadi filosofi kota itu sendiri adalah sebuah keniscayaan?” tambah argumenku.

“Aku tidak bilang semua itu tidak ikut andil dalam pembangunan kota ini. Segala jerih payah dan niat yang ikhlas tentu saja akan melahirkan hasil yang memuaskan.” Sela Danial sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana gunung bercorak loreng kebiruan itu. “Namun semua itu juga dibangun atas rasa percaya diri pula. Salah satu dari empat konsep filosofi kota ini; semangat jiwa, rasa percaya diri, konsentrasi total, dan penuh tanggung jawab. Bangunan dan segala macamnya tidak ada yang berani bangun tanpa ada rasa percaya satu sama lain, bukan? Semangat jiwa tanpa percaya diri, adalah idealisme yang akan terjebak selamanya dalam tengkorak kepala kita, konsentrasi total tanpa rasa percaya diri hanya akan jadi pikiran yang berlebihan, dan tanggung jawab tanpa rasa percaya diri tidak lebih dari bualan belaka. Rasa percaya adalah pintu yang akan membuka segala kesempatan, persepsi, dan harapan. Iman saja akar katanya dari percaya.”

“Tapi aku takut terlalu percaya. Aku takut dengan pintu yang akan terbuka untuk harapan. Akan sangat menyakitkan jika harapan itu sayup-sayup hilang dan membuatku jatuh dalam kekecewaan.” Kataku. Aku mengikat tanganku dengan jari-jariku yang kurus. Kupijit ibu jariku dengan ibu jari yang lain, aku merasa pertanyaanku terlalu sentimentil. Sesekali kutekan selaput halus yang ada diantara telunjuk dan ibu jari, untuk menenangkan diriku setelah mengajukan pertanyaan konyol itu, tapi aku penasaran. Aku terbawa suasana. Danial yang sedari tadi matanya kadang ke jalan kadang ke langit langsung berpaling ke arah ku. Dia lihat aku sedikit lama, aku berbalik melihatnya juga. Kini mata kami saling beradu pandang. Kira-kira mataku sedikit berbinar, alisku juga terangkat mengharapkan jawaban. Dia lantas menarik ujung mulutnya itu sebelah.

“Kau … bisa takut? Kukira kau tipikal perempuan kelakian yang siap menikam jantung sesiapapun jika berani mencari masalah denganmu.” Danial terkekeh tak tahu diri. Aku terperanjat setelah mendengar omongannya. Pertanyaan bodoh itu benar-benar membuatku malu.

“Iya, apalagi orang seperti kau. Jangankan tikaman, tengkorakmu juga akan kupecahkan!” kujambak rambutnya yang seperti hutan Halimun itu, kutarik saja rambut itu sampai dia ikut menunduk. Tapi dia masih saja terekekeh tanpa rasa bersalah. “Ou, ou … baik! Aku hanya bercanda! Ini sakit!” tangannya menggenggam pergelanganku tapi tidak terlalu kuat seolah dia tidak ingin membalas rasa sakit yang aku berikan. Kulepas tanganku dari rambutnya, kupercepat jalanku tanpa menoleh ke arahnya. Kenapa dia bisa menyelipkan candaan seperti itu.

“Hei, tunggu jangan marah begitu! Aku hanya bercanda. Aku minta maaf, oke? Aku minta maaf.” Manusia menyebalkan itu berlari kecil ke arahku, menghampiriku sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Mendengar kata maafnya kakiku sayup-sayup melambat, tanganku yang menggempal kesal juga ikut meregang, “orang sedang serius kau malah bercanda. Aku jadi malas. Aku mau pulang saja.” Jawabku cemberut. Apa yang akan dilakukannya setelah itu membuatku membeku sejenak, seolah otak besar bagian frontalku membutuhkan waktu untuk menerjemahkan pesan sensorik yang belum pernah aku rasakan sebelumnya; Tangan kanannya turun dari kepala yang digaruknya tadi turun ke lengan kananku. Ditarik sedikit sekitar tiga senitmeter dari posisi semula, dilihat ujung jariku yang baru saja melonggar dari gempalan itu, perlahan jari-jari tangan kiri yang terbiasa menopang kamera itu merayap perlahan dari telapak tanganku, memasuki sela-sela diantara jariku, hingga jari-jari kami saling bergesekan, menimbulkan arus elektromagnetik yang agaknya merangsang hormon dopamin dan seritonin. “Kita akan pulang. Setidaknya setelah kujawab pertanyaanmu ya?” Kalimat itu selesai dengan dikatupnya jari-jari itu menutup setengah punggung tangan kananku yang telah dingin. Namun perasaan dingin itu perlahan sejuk, lalu menghangat oleh matanya yang membara walaupun dalam keadaan sayu itu, seolah memintaku untuk percaya pada kata-katanya. Polusi cahaya disekitar jalan seakan sirna oleh remang rembulan, siulan angin yang mendesir di pinggir daun telingaku menjadi lebih lembut, kakiku seolah ditelan oleh ubin-ubin jalan, seolah sedang menunggu arahan dari Danial, napasku berhenti di pangkal tenggorokanku, darahku tidak mendidih tapi punukku panas. “Ba … baik.” Kataku.


--…--

Kami pulang setelah dia menjawab pertanyaanku. Lebih tepatnya setelah kami membeli sosis goreng dan soda dingin di pedagang kaki lima sekitar untuk membunuh rasa canggung masing-masing. Sosis membeli aku goreng … ma-maksudku aku membeli sosis goreng dan dia dia dingin soda membeli … akh, maksudku dia membeli soda dingin! Sial, jujur aku tidak ingat semua kalimat yang dia katakan. Aku hanya menyimpulkan rasa percaya diri itu penting. Ada kalimat begini, dia bilang sesuatu seperti kita masih hidup saja artinya kita masih percaya bahwa kita mampu menghadapi semua keraguan kita (Sepertinya begitu?). Dan kalimat lain seperti hidup hanya sementara makanya harus begini jangan begitu. Soalnya Aku masih bengong dengan “kejutan” genggaman tangannya itu. Rasanya otakku diangkat oleh dua malaikat berukuran balita ke atas langit lalu dicelupkan ke dalam telaga surga sebanyak tujuh kali barulah dikembalikan setelah dirasa otakku jernih kembali. Lama sekali perjalanan dua malaikat sialan itu pergi dan kembali sampai-sampai aku bisa berpikir normal setelah kami sampai di depan kost. Kalau tidak salah sepanjang perjalanan pulang aku hanya menyandarkan kepalaku dipunggungnya dan meremas bagian baju di sekitaran belakang pinggangnya.

“Sudah sampai …” katanya sambil mengapit rem motor di pegangan sebelah kiri. “Terima kasih.” Aku mendaratkan kaki kanan ku dahulu sebelum kaki kiriku bergerak meninggalkan tumpuan kaki motor. Setelah benar posisi berdiriku kami hanya saling berterimakasih. Aku berterimakasih karena sudah menjawab pertanyaanku. Dia membalas terimakasih karena aku menerima permintaan maafnya. 

“Aku masuk dulu, ya.”

“iya, kalau begitu aku pamit. Assalamu’alaikum.”

“wa’alaikumsalam. Hati-hati dijalan ya. Kabari jika sudah sampai. Jangan ugal-ugalan.” Setiap kalimat yang kuucapkan aku berhenti menuruti fungsi titik pada tulisan tetapi pengucapanku cepat agar  basa-basi canggung ini cepat selesai juga.

Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Ditancapkan gas motornya itu. Jalannya tidak terlalu cepat karena itu motor antik. Aku menunggu dia pergi sampai kehadirannya menghilang begitu saja ditelan kegelapan malam. Aku masuk ke dalam kostku. Kuletakkan helmku di dekat tangga, karena memang disitu letaknya bersama helm-helm milik penghuni kost yang lain. Aku berjalan menaiki tangga menuju pintu kost dengan menggenggam tali tasku yang hitam bergaris-garis putih, tidak menuruti kantung tasnya yang hitam sepenuhnya. Kegiatan yang paling teliti kulakukan hanyalah; memasukkan kunci ke daun pintu, kubuka kuncinya, kuputar pegangannya perlahan agar tidak membikin bising, aku masuk ke dalam kamar, ku tutup daun pintu itu, kukunci Kembali, kuletakkan tas ku hati-hati, kubuka kotak musik kesayanganku untuk menenangkan kericuhan yang ada dibenakku. setelah itu sudah. Aku hanya melempar tubuhku ke arah Kasur dan memeluk erat bantal guling kesayanganku kuat-kuat. Rasanya dia pasti sudah mati tercekik jika dia benda hidup. Kasurku juga. Jika dia hidup, mungkin dia akan mengeluh cerewet begini, “ou ou! Sakit tahu! Tak usahlah kau tendang-tendang dengan tumitmu begitu. Mentang-mentang lagi kasmaran!”

Satu-satunya yang terlihat hidup adalah anak kecil dalam kotak musik. Tapi dia berbeda. Dia terlihat senang saja melihat tingkahku yang aneh. Mungkin karena aku tidak mencekik ataupun menendangnya dengan tumit. “Hei, apa kau tau aku kenapa? Hanya karena pegangan tangan saja perasaanku tidak karuan …” terus saja aku meracau seperti orang gila yang berbicara pada patung. Namun senandung musik yang dimainkannya seakan menepuk-nepuk dadaku agar jantung yang dikandungnya tidak menyembur keluar. Tiap notasinya membuat tentram, aku tidak tau sebenarnya musik apa yang dimainkan, lagu klasik bukan, lagu mainstream jaman sekarang juga tidak pernah terdengar yang seperti ini. Yang kutau kotak musik ini adalah pemberian ayahku beberapa tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Katanya kotak musik ini didapatnya saat menolong laki-laki tua yang sedang mempertahankan tas bawaanya yang hendak dicuri. Sebagai bentuk terimakasih dia memberikan kotak musik tua miliknya. Katanya kotak musik itu sudah lama berhenti bernyanyi setelah sekian lama, jadi dia tidak membutuhkannya lagi. Ayahku membawa kotak musik itu ke toko yang menjual barang serupa untuk diperbaiki. Kata pemilik toko kotak musik itu tidak rusak, hanya kurang dilumuri minyak saja. setelah dirasa kotak musik itu bekerja Kembali, ayahku meminta untuk sekalian dibungkus rapi supaya menjadi hadiah buat anak perempuan kesayangannya. Aku sayang dengan kotak musik itu bukan karena aku suka sekali musik, tapi karena yang memberikan kotak musik itu adalah ayah. Makanya sampai hari ini kotak musik itu masih kurawat dengan baik. 

Oh, ada satu lagi kegiatan yang paling teliti kulakukan; bolak-balik menghidupkan ponsel sampai Danial memberi kabar kalau dia sudah Kembali dengan selamat. Tunggu … Biasanya aku tidak seperti ini. Kenapa ya aku ini? Aku ingin memunculkan pertanyaan “apakah ini yang namanya cinta?” dalam kepalaku tapi cepat-cepat kutenggelamkan pertanyaan itu karena terdengar menjijikkan. Takutnya dicuri lagi isi kepalaku oleh dua malaikat tadi untuk disucikan kembali. 

“Aku sudah sampai.” Kalimat itu muncul menghidupkan layar gawai yang baru kumatikan setelah 13 kali hidup-mati. 

“Baik, terimakasih lagi buat waktunya.” Jawabku.

“I’ts okay. Aku juga.”

Padahal aku baru saja semangat setelah menerima pesannya. Tapi aku perlahan mengantuk. Seperti kesadaranku terburu-buru pergi menuju tempat lain. “Aku sudah mengantuk. Aku duluan ya. Selamat tidur. Jangan bergadang.”

“Aman. Setelah satu pertandingan, ya. Aku mau main gim sebentar.” Tulisnya setelah beberapa lama. Sepertinya dia sudah memulai pertandingan itu. Aku hanya melihatnya sekilas. Aku tak sempat membalas lagi. Aku tertidur. Dan benar saja, rupanya kesadaranku pergi menuju Sabana yang membentang sampai ke horizon berkilau kuning disisir kebiruan. Di ujung penglihatanku, Aku melihat sesosok anak kecil yang sepertinya laki-laki sedang terduduk kaku dipinggir danau. Aku berjalan menghampiri sosok itu. Aku penasaran sekaligus kasihan dengan kesendiriannya. Semakin dekat aku dengannya semakin jantungku berdegup kencang. Sekelebat ingatan yang aku tidak tau milik siapa melintas di kepalaku. Jantungku semakin tidak karuan. Aliran darahku semakin cepat sampai aku yakin kali ini darahku mendidih. Aku berhenti tepat jarak antara aku dengannya sekuruan satuan orang Arab. Aku gemetaran. Tak sempat mulutku menyebutkan namanya yang entah darimana aku tau, dia sudah menoleh ke arahku. Sosok kaku itu disebabkan oleh tubuhnya yang sepenuhnya terbuat dari kayu. dia terlihat seperti anak kecil yang ada di dalam kotak musik milikku.  Bongkahan kayu yang di wajahnya tidak bisa menunjukkan ekspresi apapun selain tatapan kosong, tidak bisa tersenyum ataupun sedih. Tetapi aku tau saat itu dia tersenyum. “Kita bertemu lagi, Aldebaran.”


fin.



Posting Komentar

0 Komentar