Mengenal Poskolonial dari Prasmanan

 Oleh: Dedek Gunawan

Kolonialisasi, penjajahan, dan sejenisnya yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa Timur telah meninggalkan berbagai dampak bagi kehidupan bangsa terjajah hingga saat ini, bahkan ketika mereka telah mendeklarasikan kemerdekaannya secara independen. Lebih jauh, dipercaya bahwa penjajahan itu sendiri sejatinya masih berlanjut, dalam bentuk yang sangat berbeda dari sebelumnya. Bidang keilmuan yang mempelajari terkait hal ini dikenal dengan kajian poskol (post-colonial/poskolonial/pasca kolonial).

Kajian poskol, dapat dikatakan berhubungan erat dengan buku Orientalisme karangan Edward Said. Lewat bukunya, Said seolah menguak kebenaran di balik literatur para orientalis yang dipercayai hingga saat ini. Orientalisme adalah studi tentang Timur yang dilakukan orang-orang Barat. Akan tetapi, studi ini sangat politis. Dalam artian, pengetahuan yang dihasilkan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri. Contoh sederhana adalah Snouck Hurgronje dan masyarakat/daerah Aceh yang ditelitinya. Hasil penelitiannya, kemudian digunakan oleh Belanda untuk melancarkan kegiatannya dalam menguasai Aceh.

Selain itu, Barat meyakini dan memposisikan diri sebagai bangsa yang lebih superior. Dengan posisi tersebut, Barat cenderung menilai/memahami Timur secara sepihak, dan kemudian membenarkan pemahanan-pemahaman tersebut. Pemahaman tersebut juga ditanamkan pada bangsa Timur yang dijajahnya, sehingga si terjajah tidak memiliki hak untuk berbicara atas dirinya sendiri. Atas kinerja para orientalis, Barat pun memandang Timur sebagai bangsa terbelakang (Timur ganas), di mana mereka berkewajiban untuk memberadabkannya. Alhasil, banyak budaya barat yang masuk dan mempengaruhi kehidupan kita, sekaligus tidak sedikit dari kita yang mencoba menjadi seperti Barat.

Perlu digarisbawahi, istilah “Barat” dan “Timur” di sini sejatinya bermakna imajiner, dan sangat politis. “Timur” adalah ciptaan penjajah, untuk menggambarkan/menyatakan suatu wilayah, masyarakat, atau kehidupan yang lebih inferior dari mereka. Tidak ada letak geografis yang pasti. Namun jika dikaitkan dengan kolonialisme, maka Barat mengacu pada penjajah (kebanyakan Eropa), lalu Timur sendiri mengacu pada terjajah (kebanyakan Asia dan Afrika).

Adanya kolonisasi, tentunya menyisakan dampak besar, bagi terjajah terutama. Pengaruh dan peninggalan bangsa Barat (dalam berbagai bidang kehidupan seperti adat-istiadat, bahasa, budaya, dan lainnya), kerap menimbulkan pertanyaan terkait identitas. Contoh yang akan dibahas di sini adalah prasmanan, khususnya di lingkup Aceh. Pertanyaan yang muncul tentunya, asal-muasal prasmanan, apa yang berubah/hilang akibat adanya prasmanan, apakah ini mengakui superioritas Barat, pengaruh terhadap identitas Aceh, hingga sebaiknya dipertahankan atau dihentikan. Pertanyaan secamam ini, kurang lebih menjadi pembahasan dalam kajian poskol, meski tidak sepenuhnya dan tanpa jawaban final. Salah satunya ialah Homi K. Bhaba, seorang teoritikus poskol, dengan teori hibriditas dan mimikri terutama.

Hibriditas adalah persilangan budaya yang menghasilkan budaya baru. Bagi Bhabha, hibriditas adalah keniscayaan, tidak ada masyarakat yang dapat terhindar darinya. Hibriditas ini berhubungan erat dengan mimikri, yakni peniruan yang dilakukan bangsa Timur/terjajah untuk menjadi serupa dengan Barat. Akan tetapi, mimikri tetaplah meniru, sehingga tidak pernah menjadi sama maupun menyatu dengan apa yang ditiru, alhasil, mimikri melahirkan bentuk/budaya yang hibrid. Terkait hal ini, Bhabha pun menyatakan adanya ambivalensi dalam bangsa Barat. Dengan kata lain, Barat mengajarkan cara hidupnya kepada Timur (membaratkan Timur), tapi tidak pernah menerima atau pun mengakui bangsa Timur sebagai bagian atau sama dengan mereka. Terlihat bahwa mempertahankan superioritas Barat masih lebih utama.

Prasmanan adalah cara penyajian hidangan di berbagai acara pesta atau kenduri, di mana para tamu akan mengambil menu makanannya sendiri di meja yang sudah disediakan. Istilah prasmanan mengacu pada cara makan orang Perancis, di mana orang Belanda menyebut mereka fransman (yang akhirnya menjadi prasmanan). Singkatnya, prasmanan bukanlah adat yang ada di Indonesia, ini merupakan adat Eropa yang dibawa oleh bangsa Belanda selama penjajahannya. Cara penyajian ini tepatnya dibawa oleh bangsa Perancis ke Hindia Belanda (Indonesia) ketika masa peralihan VOC ke pemerintah Belanda, yang pada saat itu juga terjadi perang antara Perancis dengan Belanda. Benar saja, di Aceh sendiri penggunaan istilah ‘prasmanan’ dengan ‘ala/adat Perancis’ masih sering bergonta-ganti. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa istilah tersebut belum lazim bagi masyarakat Aceh, artinya adat/budaya ini juga masih sangat baru di Aceh.

Kenyataan bahwa adat ini berasal dari Eropa, sedikitnya menunjukkan superioritas Barat. Dalam artian, penjajah telah meninggalkan pengaruhnya (dalam hal cara melayani tamu) yang ditiru oleh bangsa terjajah. Kondisi ini mengacu pada konsep mimikri yang disinggung di atas. Di Aceh sendiri, prasmanan dipraktikkan dengan dipadukan dengan cara-cara lama (atau asli adat Aceh) dalam melayani tamu. Umumnya, hidangan utama (makanan) disajikan dalam bentuk prasmanan, para tamu mengambil sendiri. Sementara untuk minuman pembuka (kopi/teh), masih dihidangkan oleh pihak rumah langsung kepada para tamu yang duduk. Perpaduan ini dapat berbeda-beda, sesuai kehendak empunya acara terutama. Perpaduan semacam ini tergolong hibrid dalam pandangan Bhabha. Tamu dilayani tidak sepenuhnya dengan cara Barat, sekaligus tidak sepenuhnya mengikuti adat Aceh.

Hal yang sangat memikat dari prasmanan ini adalah kepraktisannya. Pihak tuan rumah (penyelenggara acara) tak perlu lagi menyiapkan perlengkapan dan tenaga/jasa dalam jumlah banyak, sebagaimana biasa diterapkan dalam penyajian adat Aceh. Beberapa hal yang merupakan adat Aceh dalam hal ini adalah: tamu yang duduk bersila dan melingkar ruangan (di sisi-sisi/dinding); makanan dihidangkan para pemuda harus dengan tangan kanan dan secara menunduk (merendahkan badan); adanya nasi, nasi tambah, lauk-pauk dalam talam (nampan besar), hingga air minum yang dihidangkan dengan urutan tertentu; hidangan dimakan secara serentak setelah dipersilahkan dan tidak akan diangkut (juga oleh para pemuda) sebelum seluruh tamu selesai makan; serta hal-hal lain yang mungkin terkesan rumit (bagi orang lain terutama). “Kerumitan” tersebut jelas tidak terjadi dalam penyajian prasmanan yang praktis, lebih mudah dan lebih hemat.

Di satu sisi, prasmanan memang menawarkan kemudahan, sebagaimana dipaparkan di atas. Namun di sisi lain, ada nilai yang bergeser, yang terkesan menjauh dari nilai ke-Acehan, yakni unsur “memuliakan tamu”. Adat atau konsep “memuliakan tamu” merupakan konsep/ajaran dalam Islam, di mana penerapannya lebih sering dan terlihat jelas pada acara-acara (kenduri) dengan tamu yang tidak sedikit. Berhubungan dengan Islam, tentunya adat ini juga berkaitan dengan bangsa Arab, yang menjadi daerah asalnya. Dengan demikian, apakah masih dapat disebut Aceh jika unsur penting itu mulai hilang?

Pertanyaan semacam itu, sejatinya tidak amat penting. Perlu diingat, Aceh adalah masyarakat dengan sejarah panjang, Islam (bukan dalam hal keyakinan) hanya salah satu dari sekian budaya yang membentuk Aceh hari ini. Bahkan, dalam kenduri/perjamuan sendiri dapat dilihat adanya pertemuan budaya yang asalnya berbeda-beda. Dalam tulisan ini belum dapat dipastikan secara terperinci, budaya apa saja yang terdapat dalam kegiatan perjamuan tersebut. Apakah hanya Islam (dalam hal tata cara yang merujuk pada kesopanan), atau juga terdapat pengaruh Hindu-Buddha (seperti perlengkapan/alat yang digunakan, talam misalnya), atau mungkin lainnya. “Asal-usul” ini nampak jauh lebih menarik dari pada pertanyaan sebelumnya.

Berbicara mengenai pengaruh Barat, harus diakui bahwa mereka adalah bangsa yang memenangkan sejarah. Kita mungkin telah merdeka, tapi penjajahan belum dapat dikatakan usai. Entah materil, entah cara berpikir, mereka masih lalu-lalang dalam kehidupan kita. Tulisan ini sendiri contohnya, masih menggunakan istilah “Timur” dan “Barat” yang jelas produk penjajah (pun dapat diperdebatkan, apakah ini memperkuat jarak keduanya, atau kebanggaan atas identitas ketimuran). Seperti kita yang tidak bisa lepas dari orang lain, mereka pun sejatinya tidak mungkin lepas dari kita. Maka dari itu, bermusuhan, putus hubungan, atau perkara buruk lainnya bukanlah jawaban. Kita tidak mengejar posisi superior, hanya menghindari penindasan, tidak tertindas tidak juga menindas.

Seperti diakui oleh umum, kemajuan dan perubahan zaman adalah hal yang tak terhindar, sama halnya dengan hibriditas. Dalam hal ini kita hanya harus bijaksana, betapa pun kebijaksanaan itu belum pernah ditemukan, kita tetap harus bijaksana. Mengenal diri dengan lebih baik, menyikapi orang lain dengan cerdas, dan tidak kalah oleh zaman. Maka dari itu, penting bagi kita untuk tidak diam, tidak mengacuhkan. Dari prasmanan, kita melihat bahwa sikap dan kondisi masyarakat Aceh sangat baik. Lantas bagaimana ke depannya? Bagaimana dengan perkara-perkara lain? Apa dan bagaimana pun itu, sekali lagi, kita harus siap dan bersikap bijak, betapa pun kebijaksanaan itu belum pernah ditemukan.



 

Posting Komentar

0 Komentar