Lelaki yang Menyiram Bunga di Pagi Hari

Oleh: Yi Lawe

"Ayo, Buyung. Kita berangkat!” Seru bapak sambil mendesakkan kakinya ke dalam sepatu karet yang sempit. Kemudian mengangkatnya lalu menarik bagian tumit sepatu yang sudah pecah itu dengan ujung jari telunjuk. Ia hampir terjatuh. “Itu bukan pekerjaan laki-laki. Laki-laki itu harus punya ini dan ini," lanjutnya sambil memamerkan kapak padaku. Tanpa sempat memahami mengapa lelaki harus punya kapak, bapak melemparkan segulung tambang padaku. Aku terkejut. Pada saat yang sama aku sedang menenteng satu ember air  untuk menyiram bunga. Aku menangkap tambang, dan ember itu secara otomatis jatuh, airnya tumpah membasahi halaman.

Segulung tambang ada di tanganku. Aku masih diam. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang harus aku lakukan dengan segulung tambang? Mengikat bunga? Tentu saja bukan. Bahkan dengan benang sekalipun, tentu bunga-bunga ini akan kesakitan.

“Malah bingung!” Sergah bapak. Aku terkejut. Aku dapat membayangkan diriku serupa ayam sakit kemudian mendengar suara petir. "Ganti pakaianmu!" Tambahnya dengan membentak. Cepat-cepat aku bergegas ke dalam kamar. Sesekali aku melihat ke belakang, seolah bapak mengekor di belakangku, dan siap-siap menerkamku kalau-kalau ada yang tidak beres menurutnya. Ah, apa pun yang tidak menyenangkan dan tidak cocok bagi bapak, itu tentu tidak beres. Mencium bau bunga, itu termasuk yang tidak beres. Menyiram bunga, juga tidak beres. Singkatnya, segala hal tentang bunga bagi bapak tetap tidak beres.

Di luar rumah, bapak seakan memang menempelkan matanya yang tajam tak ubahnya mata kapak itu di punggungku. Aku menanggungkan perasaan yang aneh. Semacam kejengkelan. Aku tidak tahu, mengapa hubunganku dengan bapak tidak pernah akrab. Segalanya berlansung dingin dan serba salah.

"Aish! Untuk apa lagi kau ke kamar, Buyung?" Tanpa sempat aku menjawab, bapak menyodorkan pakaian yang biasa ia gunakan untuk kerja. "Ini, pakailah ini!" Kata bapak. Aku melihat lengan yang berotot, keras dan berwarna legam itu menyodorkan bapakaian lusuh, robek-robek dan bau keringat itu padaku. Aku menerima, tanpa berkata apa-apa.

Aku kira, jika ada mata yang membuat aku tidak berani menatap, itulah mata bapak. Ketika kami kontak pandang, selalu aku mencoba mengalihkan pada yang lain. Aku tidak pernah berani melihat wajahnya, apa lagi pada bola mata bapak yang selalu menyimpan api itu. Ketika kami tanpa sengaja harus terlibat dalam sebuah pembicaraan, aku hanya menunduk. Kalau sedang berdiri, maka yang aku lihat hanya kakinya. Kalau kami duduk yang aku lihat hanya perutnya.

"Mau jadi apalah kau ini nanti, Buyung?" Kata bapak. Aku tahu itu bukan pertanyaan. Sedikit pun tidak. Aku tidak mengerti mengapa bapak tidak suka melihat aku menyiram bunga-bunga di halaman rumah.

"Ikut saja bapakmu, Nak." Kata ibu. Ibu yang bersuara dan berwajah lembut itu biasanya tidak banyak membela. Itu saja yang ia katakan.

Rasanya tidak ada yang pantas dilakukan pada sebuah pagi selain menyiram bunga dan tanaman. Matahari belum tinggi. Sekitar sejengkal dari pucuk gunung. Aku dibonceng bapak. Kami pergi ke gunung. Sebelumnya aku tanya pada bapak, "Tidak bawa bekal?" Bapak tidak menjawab. Ia hanya megangkat kapak itu seolah sedang berkata "Inilah bekal kita, Buyung!" Aku duduk di belakang bapak dengan segulung tambang di bahuku. Tidak bicara sedikit pun hingga kami sampai di kaki gunung.

Bapak meletakkan motor dekat semak-semak. Kemudian aku diminta menutupi jok dan kepala motor itu. Aku tidak pernah ikut dengan bapak. Aku tidak tahu harus menutup dengan apa. Aku melihat sekeliling. Berlajan pelan mencari sesuatu. Bapak berkacak pinggang, matanya yang seperti mata kapak itu lekat di punggungku. Menempel. Aku telah siap menerima umpatan. Menyerah seperti sebatang kayu menyerah pada mata kapak.

"Aissh. Boo..” Aku tahu ia akan mengatakan ‘bodoh’. Aku memang menunggu kata itu lepas dari mulutnya. “Itu saja kau tidak tahu?” Ia menyergah. “Memang tidak bisa diharapkan sedikit pun!" Lanjutnya setengah merepet. Kemudian ia membabat perdu, mengumpulkannya di atas jok dan kepala motor, seperti burung membuat sangkar. Ia juga mengambil pelepah pinang, kemudian meletakkanya berbaring di atas jok hingga pucuk-pucuk pelelah itu tepat di atas kepala motor. Aku diam memerhatikan apa yang dilakukan bapak. Aku melihat seperti ada rasa kesal dari cara bapak melakukannya.

"Kalau ini saja kau tidak tahu. Mau jadi apa kau?” Sambil melihat-lihat ke sekeliling motor. “Apa sebenarnya yang kau tahu, Buyung!" Bapak kesal.  Aku tidak tahu harus menjawab apa. Lagi pula, kata Bu Hayati, tidak baik menjawab perkataan orang tua. Bu Hayati, guru bahasa Indonesia sekaligus menjadi guru kerajinan tangan. Dua pelajaran yang sangat kusukai.

Jalan menanjak. Baru sebentar berjalan aku sudah merasa letih, tapi tidak aku katakan pada bapak.  Sengaja aku sembunyikan, aku tahan-tahankan. Namun rasa lelah itu sulit dielakkan, sambil terus berjalan aku siasati dengan cara berjalan lebih lambat, dengan demikian rasa letih akan tergantikan. Namun, seperti yang dibilang ibu, “Langkah bapakmu itu langkah harimau.”  Langkah yang lebar-lebar dan cekatan itu membuat aku tertinggal jauh di belakang. Bapak menyadari hal itu, ia berhenti. Posisinya menghadap ke arahku, mata apinya menyala-nyala, aku melihatnya serupa harimau yang menunggu seekor kancil bodoh menyerahkan diri padanya.

 "Buyung, lelaki itu harus cepat jalannya. Harus lebar langkahnya. Harus besar lenggangnya." Entah, aku tidak tahu. Rasanya mengapa begitu sulit menjadi lelaki dalam kriteria bapak. Aku berusaha mengejar langkah itu, tapi tetap saja aku tertinggal. Kekesalan bapak semakin bertambah. Ia diam, menungguku sambil berkacak pinggang. Aku terus menuju ke arahnya. Banyak semak berduri. Aku sibuk mengindar agar tidak tergores.

 "Aii! Terabas saja, Buyung! Itu tidak akan membunuhmu!" Sergah bapak dari kejauhan.

Aku mencobanya. Ah, tapi tetap saja aku tidak seperti bapak. Aku masih saja memindahkan ranting-ranting berduri itu.

"Pak. Aku haus" Kataku. Napasku terengah. "Berhenti minum dulu," aku membujuk bapak. Setengah berteriak.

Bapak menatap tajam ke arahku. Mata yang seperti mata kapak. Tangan di pinggangnya belum juga ia pindahkan.

"Mau jadi lelaki macam apalah kau ini, Buyung!" Jawab bapak. "Cepat! Jalan lagi. Di sana ada alur." Bapak menunjuk ke sebuah tempat.

Rasanya tempat itu masih jauh. Aku rasakan tenggorokanku sudah kering. Air ludahku mengental. Bapak melanjutkan perjalanan. Aku dengan payah mengekor dari belakang. Jalanku tetap saja lambat. Aku tidak bisa mengejar langkah bapak. Ranting-ranting belukar berduri itu tidak lagi terasa sakitnya, aku rasa lantaran digantikan rasa haus. Aku berusaha berjalan lebih cepat mengejar si langkah harimau, si mata kapak, si lenggang besar di depanku itu.

Aku rasa bibirku sudah pucat. Aku semakin lemah. Jantungku, detaknya kencang, dan semakin kencang. Dadaku rasanya sesak. Napasku tak karuan, serupa orang baru bangun dari mimpi buruk, dan mendapati seorang bapak mengayunkan kapak, dibunuh bapak sendiri. Bapak masih saja berjalan. Ia tidak lagi menengok ke belakang. Aku yakin tak yakin bisa sampai ke alur. Oh, hausku sulit aku tahankan. Kerongkonganku kering. Sesekali aku memejamkan mataku. Kepalaku rasanya setengah huyung. Aku lihat langkah bapak semakin cepat, lengangganya yang besar membuat bahunya naik turun serupa lenggang harimau.

"Ayo, Buyung!" Aku mendengar suara bapak. Ia tidak melihat ke arahku. Aku mendengar suara ricik air. Sisa-sisa tenaga aku pacu. Aku lihat bapak berjongkok di atas batu. Ia menciduk air alur itu dengan tangganya. Aku masih dengan sisa tenaga, berusaha sampai ke tepi alur. Jalan sedikit menurun. Langkahku gontai. Pandanganku goyang. Aku hampir jatuh.

Akhirnya aku sampai di tepi alur. Cepat-cepat aku menyodorkan mulutku ke aliran air itu. Basah muka dan bajuku. Aku bersimpuh, seperti orang akan mandi. Terus saja aku meneguk air, seolah air itu akan habis untukku saja. Bapak memerhatikanku. Ia tersenyum, aneh, dia tidak sedikit pun cemas kalau aku akan mati kehausan tadinya. Aku sendiri merasa semakin jengkel.

"Biar kau tahu artinya menjadi laki-laki, Buyung!" Kata bapak. Aku tidak terlalu fokus mendengarnya. Aku masih bersimpuh di dalam air. Merendam kepalaku. "Beginilah laki-laki, inilah pekerjaan lelaki, nyawa menjadi taruhannya" lanjut bapak.

Aku tidak peduli.

"Ah. Kalau begini. Tidak usah jadi lekaki pun tak masalah." Aku menggerutu dengan suara yang hanya terdengar di hidungku.

***

Sejak hari itu aku semakin menghindari bapak. Aku berusaha sebisa mungkin tidak pernah ikut dalam perkerjaan "lelaki"nya itu. Aku tetap menyiram bunga, tapi setelah bapak berangkat ke gunung. Aku tidak bisa mengerti, mengapa ia setiap hari berangkat ke gunung, mungkin sama seperti betapa ia tidak mengerti, mengapa setiap hari aku, anak lelakinya, menyiram bunga.

Aku terobsesi punya kebun bunga yang luas. Hanya ibu yang mendukung. “Bagus, apa yang dicitakan, harus diwujudkan.” Demikian ibu memberi semangat. “Tempat segala warna kupu-kupu dan kumbang bisa kulihat,” kataku pada ibu. Bisanya ibu memberi senyum padaku, seperti bunga memberi memberi semangat. Aku dengan senang dan bahagia kalau diminta ibu untuk merawat bunga. Ibu rasanya sangat berbeda dengan bapak. Ibu selalu   punya cerita yang selalu saja ada kaitannya dengan bunga. Berbeda dengan bapak, aku tidak pernah mengerti perihal lelaki yang ia tuturkan.

“Laki itu harus begini, begitu, tidak bisa begini, tidak bisa begitu, gajah-kuda.” Kata bapak panjang lebar. Aku tidak mengerti, malah aku pusing sendiri ketika bapak menceramahiku perlihal lelaki padaku. Berbeda dengan ibu, ibu selalu bercerita bunga-bunga. Setiap kali aku berbicara tentang bunga-bunga yang hidup di gunung. Selalu saja bapak bilang, “Mau jadi apa?” Itu saja yang diucapkan bapak, seolah memang tidak ada kalimat lain. Kalau ibu menceritakan tentang bunga, bapak juga akan mengatakan hal yang sama. Aku tidak mengerti, apakah menjadi pemelihara bunga itu, bukan menjadi apa-apa?

Jauh hari kemudian baru aku ketahui. Rupanya, saat ibu mengandung, ibu sangat berharap yang lahir adalah anak perempuan,  sedangkan bapak, sangat berharap yang lahir adalah anak laki-laki. Bagi ibu, anak pertama baiknya anak perempuan. Ibu berdalih dengan segala macam alasan. "Anak perempuan lebih taat dan patuh," itu alasan ibu. Sedangkan bapak, "Anak lelaki lebih utama."

Rupanya ibu selangkah lebih maju. Kadang aku sedikit geli mendengar cerita ini. Ibu sudah mempersiapkan pakaian-pakaian untuk bayi perempuan. Aku yang mendengar cerita menggeleng-geleng. "Aku yang mengandung. Aku lebih tahu," kata ibu ketika bapak bilang "Mengapa banyak pakaian perempuan?" Hampir saja cekcok kecil itu jadi besar. Untunglah cepat terlerai. "Tidak boleh mendahului takdir. Tak boleh pula menolaknya. Apa yang ada itulah yang diterima," begitu kata seorang pemuka agama di kampung.

Ternyata doa bapaklah yang dikabulkan Tuhan. Mereka mendapat anak lelaki. Bukan main senangnya hati bapak sampai seluruh kampung tahu. Setiap ia bertemu seseorang akulah yang pertama dikabarkannya. "Lelaki," katanya pada orang yang diajaknya bicara. Senyumnya lebar. Sebulan penuh ia jadi orang paling bahagia di kampung itu.

"Setiap pulang ke rumah engkau digendongnya. Diciuminya, kemudian, ini yang tak lekang dari bapakmu. Dia pamerkan ototnya. Haha," ibu bercerita. Aku mendengar ikut tertawa geli. Ketika ibu bercerita, maka hilang seluruh kejengkelanku pada bapak. Berbeda sekali rasanya dengan bapak yang aku temui, apalagi bapak yang membawa aku ke gunung waktu itu. Dari mulut ibu, maka segala ketakukan dan kejengkelanku pada kapak dan cara bapak mendidikku musah dan sirna.

Inilah kehebatan ibu. Ia bisa tahu apa yang ingin aku tanyakan kemudian. Ibu melanjutkan cerita, "Umurmu satu tahun. Bapakmu merantau. Ikut tauke kayu. Ia hanya mengirim belanja pada Ibu. Tapi tak pernah pulang. Sampai kamu bisa berjalan, sampai masuk sekolah, bapakmu masih di rantau. Sebenarnya Ibu tahu, bapakmu bukan lagi berkerja sebagai tukang tebang kayu. Ia sudah ikut dengan...” Ibu memelankan suara. Kemudian melanjutkan, “Bapakmu ikut berjuang dengan Laskar Nanggroe Merdeka. Syukurlah bapakmu selamat," kata ibu sambil menyebut beberapa nama teman-temanku yang aku tahu mereka anak yatim.

Pada masa komplik dulu—demikian ibu dan beberapa orang-orang tua di kampung Tanah Serong menyebut sebuah zaman pecah perang—itu. Kukira ibu mana pun tidak ingin kehilangan anaknya, rupanya atas nama ketakutan itu pula ibu memutuskan untuk mendidikku di rumah saja. Itu membuat aku terpisah dengan teman-teman seumuranku. Pelajaran setiap paginya adalah menyiram bunga, menjelang siang menghapalkan jenis-jenis bunga, jenis-jenis hama yang menjadi musuh bunga, dan segala macam kebaikan yang dihasilkan bunga.

Hal itu membuat aku lebih banyak mengenal nama bunga-bunga dari pada nama-nama menteri, fisikawan dan para penemu. Cita-citaku pun sangat sederhana, aku ingin menjadi bunga. Suatu kali ibu bertanya padaku tentang cita-cita,

“Aku ingin menjadi pahlawan, Bu.” Jawabku.

“Kalau ingin menjadi pahlawan, jadilah bunga.” Kata ibu. Lalu ibu menjalutkan dengan pertanyaan “Kamu tahu lagu gugur bunga?” tanya Ibu. Aku menggeleng, kemudian ibu menyanyikannya untukku. Suara ibu seperti mawar hitam, layu dan kemudian aku menangis. Sejak hari itu, aku tidak ingin menjadi yang lain, aku hanya ingin menjadi bunga, yang gugur dan dinyanyikan ibuku. Aku ingin menjadi bunga, yang gugur dalam harumnya.

Rupanya didikan ibu tentang bunga-bunga itu telah membentuk aku, anak lelakinya hanya pandai merawat bunga. Sampai akhirnya bapak pulang. Bapak sepertinya kecewa mendapati aku tidak seperti yang diinginkannya. Anak lelaki baginya harus pandai memanggul senjata, minimal pandai memainkan kapak. Misinya pulang, aku rasa memang menjadikan aku lelaki seperti dalam ketakutannya. Ya, ketakutannya.

"Ayah tidak tahu, Nak. Mungkin beberapa tahun-tahun kemudian, ada saat yang mengharuskan kamu berada di gunung, Nak." Ia ucapkan dengan nada yang aku tahu dengan sangat tulus. Suaranya serak dan bergetar. Bapak memelukku di halam rumah ibu yang penuh dengan bunga-bunga. Lelaki pemelihara mata kapak itu menangis, benar-benar menangis. Sepertinya mata kapak itu telah menebas dirinya sendiri, mungkin. Ia terus memelukku. Seolah tidak ingin lepas, seperti kelopak dengan kuntum.

Sekian tahun setelah hari itu, aku kemudian mengerti. Ya, inilah waktunya; aku harus berada di gunung dengan segala macam alasan yang memang mengharuskan aku berada di gunung, persis, tidak ada ubahnya dengan ketakutan bapak pada tahun-tahun jauh silam. Perang pecah lagi di Tanah Serong. Dan, selalu saja, ada seorang lelaki yang tidak mengerti mengapa ia harus berada di salah satunya; pemburu atau yang diburu. Pembela atau pembelot. Aku tidak ingin menjadi keduanya. Aku hanya ingin menjadi bunga, sebab kata ibu, setiap kuntum akan menyumbat lubang-lubang peluru.

 

 

Lam Gawee, 22 Januari 2021.

Posting Komentar

0 Komentar