Oleh: Yi Lawe
“Jangan tidur di kala senja” rasanya itu-itu saja yang diucapkan Ibuku
setiap kali aku akan merebahkan badan. “Aku hanya ingin istirahat” begitu
ingin kujawab tapi aku tidak pernah mengatakannya, karena aku takut. Aku
takut dikutuk menjadi burung tujuh. Pernah suatu kali aku bertanya, “Kalau
Ibu dapat mengutuk anaknya menjadi batu, apakah Ibu dapat mengutukku menjadi
orang bijak?” Ibuku menjawab, “bahkan bila kamu menjadi nabi, tapi itu
kutukan, aku tidak mau”. Sejak saat itu, aku tidak pernah membantah
perkataan Ibuku lagi, tapi aku tidak pernah menuruti perkataannya. Walaupun
Ibu selalu melarangku tidur di kala senja, aku tetap saja tidur. Padahal,
aku selalu berusaha untuk tidak mengabaikannya sama sekali. Biasanya aku
menimpali dengan pertanyaan “Kenapa tidak boleh?” Dan setiap kalinya pula
Ibu memberi jawaban yang berbeda-beda.
Kemarin Ibu juga melarangku tidur senja karena menurutnya senja itu terbuat
dari kuning telur angsa putih. Tentu saja aku tertawa mendengarnya. “Jangan
kamu kira main-main” ucap Ibuku, walau ia berusaha seserius mungkin, tetap
saja wajah Ibuku terlihat lucu. Aku tetap mendengarkan apapun alasannya,
walaupun alasan itu rasanya tidak logis sama sekali. Sekarang coba kau
pikirkan, bagaimana logikanya lantaran senja itu terbuat dari kuning telur
angsa putih kemudian aku tidak boleh tidur sore?
Aku tahu yang dimaksud Ibuku “Jangan tidur sore, karena bisa gila”.
Pernyataan itu memang telah masyhur, kukira semua orang pernah mendengarnya.
Aku tidak peduli apakah itu benar atau tidak. Aku tetap saja berbaring di
tempat tidurku, dan Ibu selalu saja berada di sampingku. Ia duduk di sebelah
kepala, lalu menyelisik rambutku. “Rambutmu sudah panjang, banyak telur
kutu” katanya, aku tidak percaya, sebab aku bukan hanya rajin menyisir tapi
juga aku melakukan perawatan, tidak mungkin ada telur kutu di kepalaku.
Matipun aku akan mengatakan bahwa tidak ada telur kutu di rambutku, Ibuku
selalu saja menyelisik. Sembari menyelisik ia melanjutkan alasannya mengapa
tidak boleh tidur di kala senja.
“Senja itu terbuat dari kuning telur angsa putih, makanya kamu tidak boleh
tidur di waktu senja.” Kata Ibuku.
“Kalau ternyata terbuat dari kuning telur ayam kota?” Tanyaku bercanda.
“Tetap tidak boleh, karena senja itu terbuat dari kuning telur.” Katanya.
“Kalau kamu tidur di waktu senja, kamu bisa-bisa menjadi ayam atau angsa.”
Lanjutnya.
“Aku ingin menjadi angsa.” Kataku.
“Kamu tidak bisa memilih.”
“Kenapa begitu?”
“Sebab senja itu tetap datang tanpa peduli kamu memilihnya.”
“Ha?”
“Kalau kamu tidur sekarang, mungkin kamu akan menjadi burung.”
“Mengapa bukan angsa atau ayam?”
“Sebab hari ini giliran burung” jawab Ibuku, tangannya masih saja menyelisik
rambutku. Sambil sesekali ia menggerutu, “Issh, banyak sekali telur kutu di
kepalamu” katanya.
Setiap kali dia menjelaskan lebih jauh perihal senja yang terbuat dari
macam-macam telur unggas itu, pada saat itu pula aku telah tertidur, dan
baru bangun saat Ibu berhenti mengarang alasan. Tapi aneh sore ini tumben
sekali Ibu tidak menegurku. Aku tidak tahu ia kemana. Artinya aku tidak tahu
apakah hari ini senja itu terbuat dari kuning telur biawak atau telur burung
gereja. Rupanya absenya teguran Ibu itu bukan membikin aku tidur nyenyak,
malah membuat aku diserbu mimpi aneh, memang sangat aneh.
Di dalam mimpi itu aku melihat diriku sendiri yang sedang terbangun dari
tidur, dan tiba-tiba aku di dalam mimpi itu menyadari ada seekor burung
punai tanah hinggap di pokok nangka di samping rumah. “Apa yang aku
pikirkan?” Aku tidak bisa menguraikan, aku pada lapisan mimpi yang mana
mengucapkan kalimat itu? Namun yang jelas, yang sedang aku mimpikan itu
tiba-tiba adalah ingin terbang.
“Aku hanya ingin terbang.” Kataku.
“Kamu tidak bisa terbang.” Aku menjawab diriku sendiri.
“Aku tahu itu keinginan bodoh.” Kataku.
“Sebab sementara tidak ada manusia yang bersayap.” Jawabku.
“Serupa angsa putih, bangau putih, punai, puyuh dan pipit. Tidak ada.”
Kataku.
Setelah percakapan itu, aku tidak mengingat banyak hal lagi, termasuk
tentang burung punai yang hinggap di pokok nangka tadi. Aku semacam disedot
oleh mimpiku sendiri, seperti cara seorang bayi menyedot susu dari tetek
Ibunya. Kadang-kadang aku merasa memang dalam mimpi yang sebenarnya, tapi di
saat yang bersamaan pula aku merasa seperti ditarik keluar oleh kesadaran,
seperti malaikat maut yang menarik nyawa dari ujung kuku seorang dukun
santet. Dalam keadaan seperti itu, aku memang telah benar-benar bangun.
Sebab mustahil rasanya aku dapat menyadari bahwa memang ada seekor punai
hinggap di pokok nangka, dan aku sempat bertanya mengapa seekor burung pipit
suka hinggap di dahan jambu air, atau seekor burung rebatan suka mencatuk
pepaya. Itu bukan pertanyaan yang kerap aku lontarkan, artinya tidak mungkin
pertanyaan itu muncul karena aku kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan
semacam itu.
Namun aku sangat yakin bahwa itu hanya mimpi, ketika aku sangat yakin bahwa
tubuhku telah ditumbuhi bulu, serupa sayap burung benalu, sedang hal itu
tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Selain bahwa aku memang mendapati
diriku sedang terbang seperti burung terbang. Aku juga melompat dari ranting
ke ranting, dari dahan ke dahan. Namun yang tidak dapat kupikirkan, mengapa
aku hal itu semua.
“Apakah mimpi dapat disadari?” Aku bertanya pada, aku tidak tahu apa siapa,
mungkin pada aku di lapisan mimpi yang lain. Sebab memang demikianlah yang
aku rasakan, bukan bahwa aku telah menjadi dua orang atau menjadi dua sosok
yang saling bertemu. Mereka berada pada lapisan mimpi yang berbeda, dan
saling menuduh bahwa yang satu adalah mimpi dan yang satunya lagi adalah
kesadaran. Aih, tapi walau bagaimanapun rumitnya lapis-lapis mimpi itu, yang
kemudian aku rasakan adalah bahwa aku telah terbang lebih dari terbang dari
lima sayap merpati. Itu hampir saja membuat kepalaku meledak. Bukan tentang
memikirkan bagaimana merpati mengepakkan sayap, melainkan memang terbang
dari lima sayap merpati. Aku dapat merasakan tubuhku keluar dari bulu haram
di sela-sela lima sayap merpati. Suara-suara dari mimpiku mengatakan bahwa
kemampuan itu lebih tinggi dari tiga sayap elang dan rajawali dan dua ratus
sayap burung-burung pasar. Aku memang terbang melebihi kata terbang itu
sendiri.
“Jangan tidur di kala senja” kata-kata Ibuku itu seperti gunung yang
diikatkan di kedua kepak sayapku. Berat sekali, dan memang tidak mungkin
dapat seekor burung benalu dapat membawanya terbang, tapi aku memang terbang
dengan gunung di kedua kepak sayapku. Sebelum mimpi itu menerbangkan aku,
aku merasakan tubuhku adalah sepotong kayu yang dijadikan Ibu dinding kamar
yang mengetahui ratapan. Aku menjadi air matanya, yang kemudian menyaksikan
diriku menetes dari pipinya. Di depan sebuah cermin yang memantulkan bayang
tubuh Ibuku, aku menjadi kaca yang tidak dapat menolak tubuhnya menyelinap
dalam tubuhku.
“Jangan tidur di kala senja” kalimat Ibu itu adalah burung yang masuk ke
dalam lubang kupingku. Kupingku yang terbuat dari tanah tebing,
lorong-lorong gua dan kemudian menyeruak keluar menjelma ribuan kelelawar.
Dari kupingku keluar kelelawar yang memekik menjadi kata, “Jangan tidur di
kala senja”.
Akibat dari keseringan tidur senja, sekarang aku sudah pandai tersenyum pada
kaki kursi yang separuh tubunya disembunyikan Ibu di bawah meja makan. Hal
ini memang seperti diwanti-wanti Ibuku, “Kalau keseringan tidur di kala
senja, nanti kamu bukan hanya menjadi burung, kamu juga bakal senyum-senyum
pada kaki kursi. Mau kamu?,” waktu itu aku tidak menjawab, dan aku tetap
saja tidur sore. Kini, ini semacam petaka, aku bukan hanya telah mampu
senyum pada kaki kursi, tapi aku juga tahu kalau kursi itu membalas
senyumku.
Saban pagi aku akan terbang rendah menuju dapur Ibu. Tersenyum pada tumpukan
piring di dalam ember dan sendok gulai yang terbaring di antara kompor
menyala dan ikan asam pedas yang mendidih. Aku terbang ke arah Ibu yang
sedang menahan air mata. Aku tidak melihat bawang dan cabai yang teriris.
Aku terus terbang menuju seng yang setengah berkarat. Kemudian mengitari
halaman, seperti biasa kulihat dua ekor burung pipit melakukannya. Hinggap
di ranting pohon jambu. Aku memakan benalu dari kehidupanku sendiri.
Aku bercerita sepanjang pagi. Hanya Ibu yang mengerti. Sebab aku tak mungkin
lepas dari bahasanya. Setiap pagi Ibu sudah menyiapkan satu buah pepaya di
dekat jemuran di halaman belakang. Aku terbang rendah tepat di matanya yang
mengalirkan air. Aku minum air itu, seperti ketika aku bayi menetek pada
susunya.
"Segala bentuk cinta yang runyam, serupa nasi sisa dan tulang ikan.
Lemparkan saja ke halaman belakang. Ayam-ayam akan menyerbu," kata Ibuku
dulu. Sekarang aku, anak lelakinya ada di dalam kerumunan itu. Aku menjadi
ayam. Memang benar-benar ayam. Ibu menangis melihat anak lelakinya telah
menjadi yang bukan dirinya. Mengais mencakar sisa-sisa cinta yang
dicampakkan. Bahkan bukan lantaran belas kasih, cinta itu diberikan, lebih
lantaran tidak dihabiskan saja.
Sirene ambulan meraung dan sayup-sayup di depan rumah, kemudian berhenti.
Hanya air mata Ibu yang terjun menerpa batu, pecah, begitulah air mata dan
suara tangisnya. Setelah satu jarum dimasukkan ke dagingku, mereka
membopongku ke dalam ambulan. Sirene dinyalakan lagi. Sayup-sayup kudengar
"Cicit-cicit" burung-burung pagi berkicau. Terakhir aku sadar, bahwa aku
memang ayam, jantan, tak bertelur dan naasnya tidak juga berkokok. Tubuh
ambulan yang dingin itu membelah rimba. Sunyi. Senyap. Gelap. Mengapa aku
tidak menjadi ambulan saja untuk mengangkut tubuhku, dan kemudian sireneku
berteriak sepanjang jalan. Meneriaki orang gila dalam diriku?
Baitussalam, 17 Januari 2021
0 Komentar