Ikan Kecil dan Perempuan Kecil

 Oleh: Yi Lawe* 

“Ikan tangkapan yang pertama tidak boleh dilepas.Kata Iskandar pada Mad Banu.  Teguran Iskandar itu terlambat, nasi telah jadi bubur, kata orang. Mad Banu telah melepaskan ikan kecil yang baru saja ia dapat. Iskandar langsung menupang kepala, semacam orang kehilangan semangat. Setiap kali ia melemparkan umpan pada sungai, ia selalu mendecep mengeluh. “Cckkk! Lah! Sial! Sial!” Demikian keluhnya.

Sedangkan Mad Banu, oleh sebab kehalusan perasaannya, ia berpikir ikan itu masih kecil, tidak ada dagingnya yang bisa dimakan, maka lebih baik dilepas saja. “Kalau sudah besar, datanglah lagi!Kata Mad Banu pada ikan kecil itu sembari melepasnya. Bagi Mad Banu, apa yang ia lakukan itu adalah sebuah tindakan yang benar.

“Kalau kita ambil yang kecil, tidak akan ada yang besar. Jadi orang janganlah serakah. Kecil-kecil sudah dihabiskan, bagaimana mau dapat yang besar-besar. Mangga muda jangan dipetik, kalau ingin merasakan mangga yang manis.” Kata Mad Banu pada Iskandar yang dari tadi tampak masih mengeluhkan perbuatan Mad Banu itu.

Rupanya lain Mad Banu lain Iskandar. Bagi Iskandar, hal itu tidak boleh dilakukan. Pantang, begitu istilahnya. Kata Iskandar perbuatan Mad Banu itu bakal menghalangi rezeki.

“Sebenarnya tidak boleh begitu, Banu. Karena ikannya kecil tidak kita terima, lalu kita buang, tidak boleh begitu. Memancing itu artinya kita menerima apa yang diberikan. Memancing ikan di dalam sungai itu perkara gaib, seperti juga rezeki. Sudah ada yang mengatur kok malah mengatur sendiri.” Kata Iskandar pada Mad Banu.

Dua teman itu saling mempertahankan apa yang mereka yakini sesuatu yang benar. Mad Banu merasa benar atas alasan belas kasih. Iskandar merasa benar atas alasan syukur rezeki. Mereka terus saja adu mulut. Iskandar menyalahkan Mad Banu.

“Kalau begini, baiknya kita pulang saja. Sebab rezeki pertama sudah kita tolak. Sulit datang rezeki yang kedua.” Kata Iskandar dengan kesalnya.

Mad Banu tentu tidak tinggal diam. Mad Banu tetap menjawab. “Itu hanya mitos, mitos itu dekat dengan syirik, syirik itulah yang sebenarnya menjadi penangkal rezeki.”  Kata Mad Banu.

“Kalau kamu tidak bersyukur dengan yang sedikit, bagaimana rezekimu akan ditambah oleh-Nya. Apa kamu tidak pernah mengaji?” Jawab Iskandar pula.

“Kamu yang ngajinya salah. Apa kamu tidak pernah mendengar negeri-negeri menjadi tandus, sungai-sungainya kering lantaran kesyikiran penduduknya?” Mad Banu balik bertanya.


***

Sementara itu, seorang lelaki tua, bisa kita bilang kakek-kakek. Dari permukaan bisa kita duga umurnya tidak jauh-jauh berkisar enam puluh sekian-an. Enam puluh berapa-nya, tentu tidak dapat kita pastikan—selain memang tidak banyak gunanya juga menghitung umur seseorang. Kekek itu bersama seorang perempuan kecil. Kecil umurnya sekecil badannya. Entah cucunya entah keponakannya. Tidak kita tahu. Sebutlah perempuan kecil itu cucunya, sebab rasa-rasanya itu yang paling mungkin dan pantas.

Anak itu, maksudku perempuan kecil itu, kira-kira berumur tujuh tahun, tujuh tahun berapa bulannya tentu data kependudukan yang tahu. Rambutnya hitam, tapi tidak terlalu. Ada juga bias kuning-kuningnya seperti bulu kerbau jagat. Tahulah kita itu kuning lantaran matahari belaka. Bukan lantaran ayah-bundanya bekulit jagat. Tidak juga kita tahu mengapa rambut itu tidak diikat, mengurai begitu saja, sehinga kalau ada angin berhembus, rambut itu ikut pula pada arah angin. Sesekali perempuan kecil menyapu mukanya, menyingkirkan rambut yang menghalangi pandangannya dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang kail.

Kekek dan cucu perempuannya itu memancing di seberang. Jika Iskandar dan Mad Banu berada di sisi barat sungai, maka kakek dan cucu itu berada di sisi timur. Kakek itu tekun sekali memancing, hanya sesekali ia diganggu cucunya mana kala si Cucu meminta agar disapasangkan umpan, atau sesekali ia harus pula turun ke sungai mana kala mata kail itu tersangkut di batang cingkam yang rebah di tepi sungai.

Kail si kakek bergerak-gerak. Tandanya ada ikan yang memakan umpan. Cucu itu meletakkan kailnya sembarang. “Tancapkan yang bagus, nanti dimakan ikan besar, dibawanya lari pancingmu” kata si Kekek. Cucu itu sedikit bandel. Ia melompat ke arah kakeknya serupa cara anak kucing melompat pada induknya. Kemudian cucu itu mulai merusuhi kakeknya juga seperti cara anak kucing yang merebut belalang dari mulut induknya.

“Sini, biar aku aja, Kek. Biar aku aja.” Perempuan kecil itu terus meminta kail kakeknya. Aih, nampaknya memang sudah beginilah hukum alam, semua kakek akan menyerah pada cucunya. Kail besar itu diberikan sembari si Kakek memungut kail kecil cucunya lalu menancapkannya ke tanah dengan benar.

Perempuan kecil itu bersemangat sekali seperti anak kucing melihat kupu-kupu yang hinggap di hidung induknya. Kail itu ia tarik kuat-kuat. Mana kala ikan itu menghentak, dilawannya pula dengan menghentak. Di sampingnya si Kakek terus mengawasi sambil memberi intruksi.

“Ha! Jangan dilawan. Kasih ulur talinya.” Kata si Kakek.

“Makin jauhlah dia, Kek.” Jawab si Cucu.

“Kalau kita lawan, bisa putus talinya.

“Kata Kakek, ini tali yang kuat.

“Lepas ikannya nanti.

“Kenapa bisa lepas?”

Kekek itu menggaruk kepalanya. Ia kehabisan cara untuk menjelaskan pada cucunya. Tapi ia tidak putus asa. Malah ia sendiri merasa senang dengan pertanyaan-pertanyaan cucunya itu. Cucu itu pun, meski terus saja menyanggah perkataan kakeknya, tapi ia menuruti juga intruksi kakeknya itu.

Ikan itu kini sudah mulai kehabisan tenaga. Si cucu perlahan-lahan menggulung tali. Ikan itu tampak sudah dekat dengan tepian. Cucu itu langsung meletakkan kail kemudian melompat ke sungai. Cucu itu tidak sabar ingin segera menangkap ikan itu dengan tangannya.

“Astagfirulllah! Terkejutlah ikannya. Kan, lari lagi dia.” Ujar si Kakek kesal. Bagaimana pun, namanya cucu, atas nama cucu, ia tidak bisa marah. Ia hanya tersenyum-senyum sendiri melihat kelakukan cucunya.

***

Eh, rupanya pedebatan Iskandar dan Mad Banu tadi belum juga berhenti. Hanya kerena ikan kecil, perdebatan itu merambah ke mana-mana. Masuk pada perkara mengaji, perkara syirik, perkara syukur. Dan, ini yang tak habis pikir kita, termasuk pula perkara politik. Mereka tidak lagi peduli tentang ikan, seolah mereka ke sungai itu memang untuk berdebat, beradu mulut.

Sedang di seberang sungai, seorang kakek dan seorang cucu perempuannya tampak sedang kewalahan menghadapi tarikan ikan. Kemungkinan umpannya dimakan induk ikan gemuh yang panjangnya bisa satu depa, lebarnya lebih sepuluh jari. Kakek itu terus saja tarik ulur senarnya. Ikan itu sudah berada di tepian. Kakek itu menyuruh cucunya memegang kail sedangkan ia mengambil sarok, dan bergegas menangkap ikan itu.

Rupanya sebelum berangkat tadi, ada kejadian begini: Kakek itu bilang pada cucunya, “Jangan langkahi batang pancing, nanti tak dapat ikan.” “Kenapa tidak dapat ikan?” Tanya si Cucu.  Manakala cerita ini kuceritakan lagi pada Mad banu dan Iskandar, keduanya langsung bertanya, nyaris bersamaan.

“Bagaimana?” Sontak tanya dua orang itu.

“Cucu itu melangkahi rezeki!” Kata Iskandar.

“Cucu itu melangkahi mitos!” Kata Mad Banu.


Yogyakarta, 15 Oktober 2021

 

*Penulis bergabung di komunitas literasi, GSB (Gerakan Surah Buku). Menerbitkan dua buku antologi puisi, LALU (2017); ZING’: Yang Kukira Puisi Kau kira Bukan (2019) dan satu novelet Kematian Mad Banu (2021)

Posting Komentar

0 Komentar