Bagaimana Socrates Menyambut Kematian?

Oleh: Jek

Socrates, filsuf yang dihukum bunuh diri itu mempunyai kisah menarik. Sebelum hakim menjatuhkan vonis hukuman mati atasnya, terdapat sebuah perdebatan panjang perihal kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Di depan mahkamah Yunani, Socrates sendirilah yang menjawab tuduhan-tuduhan yang dilayangkan oleh lawan-lawannya, walaupun Socrates sendiri tidak pernah menganggap mereka sebagai lawan.

Socrates dituduh meracuni pikiran anak-anak muda Athena (tuduhan purba bagi orang yang memiliki pemikiran berbeda). Socrates diyakini menyebarkan paham-paham kesesatan kepada orang-orang, biarpun Socrates sendiri tidak pernah menganggap pengajarannya sebagai suatu aliran atau ajaran tertentu.

Keberanian Socrates menghadapi kematiannya inilah yang patut dicurigai sebagai salah satu ajaran Socrates, biarpun tidak pernah disinggung secara eksplisit sebagai ide atau gagasan dalam sejarah filsafat.

Socrates dengan wajah datar menerima vonis tersebut. Ia sama sekali tidak bergeming. Ia sangat patuh terhadap putusan hakim yang menyenangkan lawan-lawannya itu. Kita dapat menaruh curiga, jangan-jangan inti dari perjalanan filsafat Socrates bukanlah dialog-dialog yang tercatat dalam tulisan murid-muridnya, melainkan sikap dia menghadapi kematian di akhir episode hidupnya.

Dalam episode tersebut, Socrates sesungguhnya memberikan suatu teladan. Seperti kata pepatah, satu tindakan lebih baik daripada seribu khutbah.

Tidak seperti Stoa dan Sofis, Socrates membuktikan bahwa filsafat adalah lilin yang tetap menyala. Nama lain dari filsafat Socrates adalah keikhlasan dan ketulusan. Filsafat harus menerangi orang-orang, walaupun dirinya sendirilah yang akhirnya habis terbakar.

Filsafat, mungkin bagi Socrates, bukanlah cara pandang hidup yang egoistik, yang melulu soal cara pandang individu belaka. Pada hakikatnya, seorang manusia tidak berjarak dengan sekitarnya. Ia justru menyatu dengan sekitarnya sehingga bukanlah sebuah kebijaksanaan apabila di luar diri manusia hanya dianggap sekadar objek pasif belaka.

Filsafat bagi Socrates adalah segala sesuatu yang dekat dengan kehidupan, bersifat praktis, namun kita harus kecewa apabila mencari simpul-simpul jawaban di dalam hutan rimba yang bernama filsafat itu. Filsafat tidak memberi jawaban, melainkan memberi pertanyaan. Filsafat bukanlah kesimpulan, filsafat adalah metode.

Pada akhirnya, Socrates adalah martir pertama dari sederet martir yang setia sampai akhir pada prinsip hidupnya.

Socrates dan Kematian

Sedapat mungkin, barangkali di balik kisah itu terdapat sebuah ajaran penting tentang bagaimana seorang manusia bersikap berani di hadapan kematian yang menyeramkan.

Mengapa Socrates dengan sudi menerima keputusan mahkamah walaupun dia bisa melawan? Benarkah ada saatnya seseorang harus berlapang dada ketika ketidakadilan sedang terhampar di depannya? Bagaimana jika sikap Socrates tersebut adalah sebuah pelarian dari tanggung jawab yang tentunya akan bertabrakan dengan pengajaran yang telah diberikannya?

Tidak ada yang tahu soal Socrates, jika muridnya, Plato, tidak menuliskan dialog-dialognya bersama sang guru. Banyak akademisi kontemporer yang meragukan validitas karya Plato mengenai Socrates. Jangan-jangan, dialog yang ditulis oleh Plato bukanlah kata-kata Socrates sendiri, melainkan penafsiran subjektifnya terhadap ajaran Socrates.

Biarpun begitu, setidaknya kita bisa tahu bahwa seorang yang senang bertelanjang kaki, berbaju lusuh, khas dengan kumis dan jenggotnya yang lebat itu pernah berjalan mondar-mandir di Athena sambil membawa pertanyaan-pertanyaan yang mengusik ketenangan orang-orang. Socrates adalah pribadi yang eksentrik, dan kita akhirnya cukup sulit berpikir bahwa orang semacam itu mempunyai niatan jahat untuk meracuni pikiran anak-anak muda dalam artian yang sempit.

Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, seorang raja menetapkan peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat tanpa terkecuali. Apabila peraturan itu buruk, maka melanggarnya adalah suatu perbuatan yang baik.

Sama halnya di dalam sistem demokrasi. Seringkali kita menyaksikan suatu peraturan yang hanya menguntungkan satu-dua pihak dan membatasi hajat hidup orang banyak. Apabila masyarakat tersebut tidak taat terhadap peraturan tersebut, tentu saja itu bukanlah perbuatan yang buruk apalagi jahat.

Namun, posisi Socrates pada saat itu tidaklah semulus yang dikira. Ia aktif sebagai guru keliling yang tanpa pamrih membimbing anak-anak muda Athena. Ia tidak mungkin melanggar aturan yang telah ditetapkan. Hanya saja dengan metode dialektikanya, Socrates menyingkap sekaligus menggugat keyakinan masyarakat umum.

Kebenaran yang ditampakkan oleh Socrates mungkin terlalu silau bagi masyarakat umum sehingga mereka cenderung antipati terhadapnya. Manusia lebih memilih hidup dalam ilusi kebenaran, daripada harus menerima kenyataan yang pahit. Manusia cenderung takut menerima kebenaran, sebab terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk menghapus delusi-delusi yang telah bersarang di dalam pikirannya selama ini.

Inilah yang menjadi alasan utama mengapa Socrates begitu dibenci oleh beberapa orang walaupun kedekatannya dengan pihak kerajaan dan bangsawan tidak perlu dipertanyakan. Tetapi, Socrates tidak anti terhadap kenyataan politis pada saat itu. Socrates menegaskan bahwa dirinya aktif melibatkan diri pada urusan publik, terkhusus pada dua hal: Pertama, ia dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap demokrasi. Kedua, ia tidak bisa berdiam diri apabila penguasa bertindak di luar hukum.

Tetap saja, hasutan oleh para penuduh itu sudah terkunyah dengan sangat baik. Di hadapan sidang, semua orang berpikir bahwa Socrates adalah orang paling buruk.

Kira-kira beginilah posisi Socrates di mata penulis. Lagipula, sikap politik seperti yang diyakini pada zaman Socrates tidaklah seperti sekarang. Ia hanyalah orang tua yang mengusik pikiran-pikiran umum, dan kebetulan anak-anak muda dengan masa pubertasnya menyukai hal-hal baru yang menantang.

Imortalitas dan Kemerdekaan Jiwa

Dalam salah satu pernyataannya di hadapan hakim, Socrates sama sekali tidak berniat untuk membela dirinya sendiri. Ia mengatakan, "Aku ingin kalian tahu, jika kalian membunuh orang seperti diriku, kalian akan lebih menyakiti diri kalian sendiri daripada menyakitiku. Tak ada seorang pun yang bisa menyakitiku, baik Meletus maupun Anythus (si dua penuduh), sebab orang jahat tak akan mampu menyakiti orang lain kecuali dirinya sendiri". Seketika, suasana di dalam ruang sidang hening. Meletus maupun Anythus terlihat gemetar mendengar pernyataan lugas Socrates.

Socrates merupakan manusia yang tidak punya ambisi terhadap hasrat duniawi. Orang-orang keheranan melihat Socrates. Ia sama sekali bisa terlepas dari jeratan duniawi, dan tidak memiliki kekhawatiran sepanjang hidupnya. Socrates meyakini bahwa hidupnya dibimbing oleh orakel atau daimon, semacam bisikan hati dari para dewa. Itulah salah satu alasan mengapa Socrates sangat percaya diri hadapan semua orang.

Socrates menolak untuk menghadirkan saksi. Ia datang ke hadapan mahkamah untuk membela kebenaran, bukan meminta belas kasihan. Oleh karenanya, sikap Socrates yang lugu itu secara praktis menguntungkan lawan-lawannya. Socrates juga tak pandai bermain bahasa, bahkan sempat menyatakan bahwa si penuduhlah yang bermain bahasa. Ketegasan dan kelugasan Socrates menjadi wajar sebab ia datang ke hadapan hakim merupakan kali pertama sekaligus terakhir dalam hidupnya.

Pernyataan terakhir Socrates di hadapan hakim cukup menggetarkan. "Wahai orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib kalian; sebentar lagi aku mati, dan di saat-saat menjelang kematian manusia dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa tak lama sesudah kepergianku maka hukuman yang jauh lebih berat daripada hukuman yang kalian timpakan padaku pasti akan menantimu. Jika kalian menyangka bahwa dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu sehingga tak mengecam hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan keluar yang terhormat dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri".

Russell menyatakan, pandangan Socrates lebih bercorak etis daripada ilmiah (Sejarah Filsafat Barat, hal. 123). Socrates mendefinisikan beberapa istilah etis. Charmides, sikap tahu diri atau tahu batas; Lysis membahas persahabatan; Laches yakni keberanian. Tiga istilah etis penting inilah yang digambarkan secara nyata dalam episode sidang vonis kematian Socrates.

Walaupun Socrates bersikukuh bahwa kebijaksanaan adalah mengetahui bahwa diri sendiri tidak tahu, Socrates tetap menekankan bahwa manusia harus tetap mencari pengetahuan.

Bahkan, ia menyatakan bahwa tidak ada manusia yang berbuat dosa secara sengaja, melainkan karena ketidaktahuan. Ia rela menerima keputusan hakim, dan tidak menaruh dendam pada Meletus dan Anythus.

Ia merdeka dari hasrat dan ambisi duniawi. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Socrates telah mencapai penguasaan jiwa terhadap tubuh secara tuntas. Ia tidak khawatir dengan adanya penghakiman abadi di akhirat nanti, sebab ia meyakini bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang benar.

 


Posting Komentar

0 Komentar