Oleh: Yi Lawe
Omong-omong
tentang kematian, paling minimal ada dua hal yang kuingat. Pertama, dua hari
yang lalu, jasad Mad Banu baru saja dikebumikan, dan yang kedua sebuah pepatah,
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading”. Lain pepatah,
lain Mad Banu. Singkat kata, Mad Banu mati meninggakan masalah.
“Dia
yang mati, kita yang ribut.” Demikian kata seorang lelaki yang sudah sedikit
berumur. Manakala aku tanyakan mengapa, dia lelaki tua yang kulitnya sedikit
beraroma tanah itu menjawab, “Kau lihatlah apa yang terjadi dengan kampung ini
sepeninggal Mad Banu? Babi mati saja tidak seribut itu.”
Astaghfirullah!
Astaghfirullah! Dua kali aku mengucap, dan itu rasanya belum cukup juga. Ingin
rasanya aku menjawab. “Ya, berbedalah, babi itu babi, Mad Banu manusia, homo
sapeins, homo ecomonicus, zoon politicon, hayawan al-natiq”
tapi itu aku urungkan karena menjelaskan konsep-konsep itu pada lelaki ini
bukan hanya buang-buang waktu, tapi rasa-rasanya juga buang-buang intelektualiti.
Terlepas
dari hal itu, dalam perkiraanku dan memang kapabilitiku sebagai intelektiwul,
tidak pernah kutemukan dalam jurnal-jurnal terakreditasi syinta maupun skopus,
tidak juga di tailorandprancis, sungguh tidak ada siapa pun yang
memiliki niat jahat: mati dan meninggalkan masalah. Setiap orang yang beres atawa
presisi, terencana dan terakreditasi cara berperilaku dan bertatakramanya, tentu
di akhir hidupnya, ia ingin benar-benar dengan sadar bahwa nafas yang ia hirup
itu, benar-benar itu pula yang ia hembuskan. Itulah nafas terakhir yang
diidam-idamkan sekalian manusia, menurutku.
Lazimlah kita mendengar, setelah
seseorang mati selesailah segala urusannya. Ada pun ihwal apa-apa yang belum
beres, maka semua halnya akan diselesaikan oleh orang-orang yang ditinggalkan.
Begitulah prinsipnya. Sebutlah misalnya hal ihwal empat perkara itu: memandikan,
mengafani, menyembahyangkan, dan menguburkan. Sungguh bukan urusan yang mati, melainkan
itu urusan orang yang masih hidup. Namun, lain cerita di kampung Tanah Serong,
selain empat perkara yang telah kita sebutkan, ada perkara lain yang sama
penting atau dalam bahasa akademisnya, ‘saklar’, aih, tapi orang Tanah Serong
ini mana paham konsep ‘sakral dan profan’. Itu sulitnya. Sudahlah, memang ini
hanya bahasa orang-orang sekolah. Untuk tidak mengulur waktu, perkara yang aku
maksud bukan perkara hutang-piutang,
melainkan lebih penting dari itu.
Seharusnya
data lapangan ini tidak aku beberkan begitu saja, sebab bukan main sulitnya
mendapat data semacam ini. Perlu perjuangan, namun untuk menghindari kekikiran
akademis dan ketamakan ilmiah, kubagikan secara cuma-cuma, namun tolong
citasinya dipastikan mandele. Simak baik-baik: Di Tanah Serong, selain
kewajiban empat perkara yang telah umum kita ketahui itu, ada pula perkara: acara
menangisi mayat. Memang benar-benar sebuah acara, untung saja event organizer
belum dikenal di kampung ini, kalau sudah, sudah barang tentu ini bisnis
menggiurkan. Bentuknya seperti sebuah hajatan, tapi bukan hajatan. Seperti
adanya syukuran, tapi bukan syukuran. Seperti adanya tahlilan, tapi bukan
tahlilan, sebab tahlilan secara defenitif dan teoritis tidak begitu. Melainkan ini memang khas, khusus,
dan hanya ada di kampung Tanah Serong sebuah acara khusus menangisi mayat.
“Lembu
mati saja kita menangis, masa orang tidak?” Demikian ungkap seorang perempuan
tua—kutaksir umurnya sekitar lima puluh sekian tahun-lah—ketika ia diberi tahu
oleh seorang perempuan yang lebih muda, sekitar tiga puluh tujuh tahun, hal
ihwal menangisi mayat itu. “Tidak
bagus, bahkan tidak boleh. Dilarang agama.” Demikian kata perempuan muda
itu pada perempuan tua tadi.
Yang
kemudian menjadi masalah sejatinya bukan pada dalil agama tersebut dimaknai
bagaimana, melainkan ada hal lain. Semua orang tahu, Mad Banu semasa hidupnya tidak
meninggalkan Banu Junior alias tidak meninggalkan ahli waris, tidak juga
meninggalkan sanak famili. Kasar bahasa, kita sebut dia hanya meninggalkan
pertanyaan, khususnya bagi orang-orang Tanah Serong.
“Pada
siapa dipesankan untuk mengurusi acara ini?” Begitu ungkap lelaki di salah satu
warung kopi. Pertanyaan itu ia sodorkan pada Kepala Desa, tapi hanya gelengan
kepala yang diterimanya. Tidak ada yang bisa menjawab. Pertanyaan itu semakin
mendesak saja rasanya.
Minim
ada satu alasan; pertama, mengingat itu Mad Banu sudah dua hari belum dibuatkan
acara tetangis. Kedua, sedangkan sebagian besar orang-orang Tanah Serong masih
percaya kalau acara itu tidak dibuat sampai tujuh hari kematian bisa mengundang
sesuatu. Jelas sesuatu yang tidak diinginkan maksudnya. Yang menjadi masalah,
yang tidak diinginkan orang-orang Tanah Serong ini kadang berbeda dengan
orang-orang di tanah lain.
Di samping keributan kecil itu, didapati
pula beberapa orang ibu mengingatkan anak bujangnya agar lekas kawin dan
beranak. “Kawinlah. Kakek Banu sedih dia. Tidak ada yang menangis di rumahnya.”
Anak-anak muda lajang itu bukannya tidak ingin kawin, tapi mereka sadar betul,
betapa acara kawin itu bukan tentang mengucapkan “Aku terima nikahnya fulanah
binti fulen...” belaka. Ada pula mahar yang tak tanggung, ada pula acara ini
dan itu, uang ini, uang itu. Sepuluh juta tidak kurang, kalau dibelikan
sepasang kambing masih cukup untuk membuat kadangnya sekalian. Mereka sadar
betul dan meyakini betul Mad Banu adalah efek nyata dari hal itu, maksudnya
runyam dan ribetnya perkara kawin itu tadi. “Maka jangan menuntut ini-itu,
kalau tidak begini maka tidak begitu, kalau tidak begitu, maka akan begini.
Pusing kami. Zaman sudah sangat berbeda.” Demikian seorang pemuda lajang menjawab.
Cukup lancang.
Seperti yang sudah kita sebut
sebelumnya. Di kampung Tanah Serong, bukan sembarang menangis, melainkan harus
ada sebuah acara yang disebut tetangis. Semacam kidung begitulah, tapi ini
tingkatannya sudah pada melebihi sekadar harus, sudah dianggap serupa kewajiban. Orang
yang menangis pun tidak sembarang. Bertentu orangnya. Tidak bisa hanya ahli
rumah, melainkan harus mengundang orang yang dikenal luas itu kian kepiawaiannya.
Hal inilah yang kemudian juga menjadi polemik.
Pertama,
mengingat langkanya orang tertentu
itu, maksudnya orang yang pandai tetangis. Berbeda dengan dulu, dulu masih
banyak yang pandai menangis sesuai pakem tetangis, tapi sekarang tinggal Nek
Jimah. Orang-orang tua yang tidak pandai sekalipun akan menyalahkan orang-orang
muda. “Orang sekarang ini mamang tidak tahu apa-apa. Entah apalah yang mereka
ketahui!” Demikian kata orang-orang lebih tua.
Nek
Jimah, hanya tinggal ia seorang yang pandai. Ia dikenal luas akan kemampuannya
membikin ahli rumah sampai meronta-ronta merasakan betapa mereka sedang
kehilangan. Namun begitu, bukan tidak ada, ada pula beberapa orang yang
ikut-ikut belaka. Mereka ikut meronta-ronta serupa orang kesurupan. Ada pula
yang sampai memukul-mukul dada, ada yang sampai merobek baju, ada yang sampai
menendang-nendang
dinding. Memukul-mukul lantai. Tapi, setelah tetangis itu selesai, mereka
seakan lupa air mata,
mereka dengan tenang meneguk kopi dan kadang kala sambil tertawa akan hal-hal
konyol dan cerita cabul yang membikin urat selangkang mereka menegang dan mulut
mereka tak henti-henti tertawa. Seolah bukan mereka yang meronta serupa orang
hampir dicabut nyawa itu tadi.
“Ah,
untuk apa pura-pura sedih.” Demikian jawab orang yang lebih muda. “Kalau memang
ingin menangis, tidak usah harus mengundang Nek Jimah” Kata mereka.
Bukanlah sifat waktu
menunggu-nunggu. Matahari tetap terbit. Tiga hari berlalu, Mad Banu belum
dibuatkan acara tetangis. Pada penghabisan pagi itu, beberapa ibu-ibu duduk di depan rumah. Dan, kita
tahu, entah ini memang sudah tabiat, kita tidak bisa menduga lebih jauh.
“Meninggal
macam apa itu. Masa ndak ada tetangisnya?” Nah, ada kau dengar? Bisalah
kita simpulkan itu ada ghibah. Bisalah kita katakan itu gunjingan. Namun
syukurlah Mad Banu tidak ada sanak saudaranya, kalau ada kan tentu tidak terima
mereka mendengar gunjingan itu. Bisa panjang masalah. Minimal ada untungnyalah.
Wah, rupanya kalau ada pendapat
setelah mati maka habis cerita, tapi agaknya tidak di Tanah Serong ini. Di sini
harus ada acara ini-itunya lagi. Jadi perihal Mad Banu masih menjadi
perbincangan. Jika dulu orang-orang Tanah Serong ini pernah ribut perihal
warisannya
Mad Banu bahkan ketika ia masih sehat, malah sekarang ribut perkara apakah
acara tetangis akan ditiadakan? Diadakan? Atau bagaimana? Jika diadakan di mana
akan dibuat acaranya?
Sekelompok anak muda baru (sebab ada
yang lama) dan beberapa orang-orang tua menyayangkan hal itu. Mereka
beranggapan, bahwa acara tetangis itu berlaku untuk orang yang ditinggalkan.
Memang Mad Banu meninggalkan siapa?
Kita tentu tidak boleh dan tidak
bisa menebak apa yang terjadi di liang kuburan Mad Banu. Yang kita tahu bahwa
ia sedang menjalani sidang tanggung jawab atas segala perilakunya. Tapi, apakah
perkara tetangis ini bisa dianggap hutang empat perkara itu? Sebagian
berperdapat “Iya, kalau tidak, betapa Mad Banu akan merasa sedih di sana. Tidak
akan mendapat ketenangan dia. Selain itu bisa pula mengundang sesuatu di
kampung kita, akan mengundang petaka”. Entah bagaimana alur logisnya, seseorang
menambahkan, “Asal kau tahu,
ya. Kalau acara itu tidak
dilaksanakan, maka Mad Banu akan disepak oleh malaikat hingga kuburannya retak
dan mayatnya terpental hingga menyangkut di sebuah pohon, kemungkinan itu pohon
kelapa.”
Perdebatan itu berlanjut sampai hari
ke tujuh setelah Mad Banu dikebumikan. Namun, dari sekian keributan itu, yang
paling dirugikan baik moril maupun materiil adalah Nek Jimah, ia
seperti dipermainkan. Pagi dikabarkan padanya, “Nanti malam, Nek.” Tapi sorenya dikabarkan pula
“Ditunda dulu, Nek”. Demikianlah hingga hari ketujuh.
Ada
yang beranggapan hal ini adalah akibat nyata dari permainan politik
okunum-okunum pemerintahan desa. Memang sengaja ditarik ulur karena kabar-kabar
angin mereka belum menemukan titik temu apa dapat diselipkan sebagai pesan
politik praktik tangis oleh Nek Jimah. Itu masih erat kaitannya dengan hal
ihwal harta yang ditinggalkan Mad Banu. Melalui acara tetangis itu, oknum
pemerintah desa menginginkan
agar Nek Jimah mengarang sebuah cerita bahwa harta Mad Banu harus diurus
olehnya. Namun, dalam karir Nek Jimah sebagai ahli dalam tetangis ia belum
pernah melakukan
hal itu. Ia murni menangis, baik sebagai rasa kemanusiaannya maupun sebagai
profesinya.
Apa lagi kalau diingat-ingat
kemampuan menangis sesuai
pakem tetangis itu hanya dimiliki Nek Jimah, sungguh ia merasa tidak dihargai
sedikitpun akan kemampuuannya itu. Kaum muda baru tetap menganggap itu sebuah
kemampuan
yang sia-sia belaka. Mereka sebenarnya tidak fokus pada Nek Jimah, melainkan pada
oknum tertentu yang memanfaatkan kemampuan Nek Jimah.
“Jelas,
ini namanya eksploitasi terhadap perempuan namanya.” Kata mereka.
Sebab
begini, misalnya Nek Jimah dalam tetangisnya mengatakan “Ahhho, mak oi.
Dia sudah tidak ada. Sudah tidak ada yang baik. Sudah tidak ada yang pandai
masak gulai. Betapa lembut daging yang dimasaknya, oii, ooii. Siapa
yang tak rindu”.
Tak
lain tak bukan, maka orang-orang penuh kepentingan tadi cepat-cepat membisikkan
pada ahli keluarga: Gulai kambing obatnya. Sulit ditarik bagaimana pangkal ujungnya. Maka
biasanya ahli keluarga akan bersusah payah mengintip kandang-kandang kambing
tetangga, seperti kita tebak, berhutang-hutanglah mereka untuk melaksanakan
tetangis itu. Yang celakanya hal itu didasarkan pada tafsir atas apa yang
diucapkan Nek Jimah, walaupun Nek Jimah tidak tahu apa-apa tentang itu.
Bagi
pemuda baru ini menjadi alasan, “Apa tidak membebani keluarga yang ditinggalkan
itu?” Demikian
biasanya mereka katakan pada pemuda lama yang masih menganggap setiap kematian berarti
makan kambing. Pemuda lama menganggap, “Itulah amalan dia. Pahala baginya. Apa
kau tak tahu betapa kering kerontang di alam sana, kalau tidak dengan amalan
ini, tidaklah mengalir barang satu tetes air ke kerongkongannya.”
Yang
masih menjadi tanda tanya, apakah Nek Jimah akan dihadirkan atau tidak? Itu
saja sebenarnya. Bukan Tanah Serong kalau hal kecil tidak mengundang pro dan
kontra.
“Nek
Jimah harus diundang, sebab hanya ia yang pandai.” Kata pihak yang setuju akan
acara tetangis itu.
“Untuk
apa harus Nek Jimah? Bukankah menangis itu bisa siapa saja?” Demikian bantahan
dari yang tidak setuju dengan acara tetangis.
Kepala
Desa pusing, lantaran kalau ditiadakannya ia menjadi bahan omongan masyarakat.
Seperti kita tahu, orang-orang Tanah Serong itu sekali saja seorang membuat
cela, sampai setelah ia mati akan tetap menjadi bahan pembicaraan. Apa lagi itu
Kepala Desa. Kalau dia menyetujui, maka orang-orang penerjemah tangis Nek Jimah
inilah yang sangat berbahaya. Kalau orang biasa saja bisa satu ekor kambing, apa lagi
Mad Banu, apa tidak satu ekor kerbau nantinya. Kepala Desa pusing, sebab Mad
Banu tidak meninggalkan sebentuk uang tunai, dan tidak ada yang tahu siapa yang
punya otoritas dalam mengelola harta Mad Banu.
“Kalau nanti orang-orang itu minta disembelihkan kambing, mau kau menanggungnya?” Tanya seorang pemuda. Dan, semua orang menggeleng.[]
0 Komentar