Perempuan yang Sedang Meyakinkan Lelakinya, bahwa Ia Memang Pengarang

 Oleh: Yi Lawe

"Begitulah perempuan, kalau sudah diberi kebebasan, tidak lagi menngenal batas." Mad Banu memberi semacam nasihat pada isterinya. Isterinya diam dan tidak ingin menjawab. Sebab dalam pikiran isterinya, "Ini lelaki bebal sekali kepalanya." Rumah tangga itu harmonis, hanya seperti pepatah zaman, sandal jepit mana yang tak aus, gading mana yang tak retak. Singkatnya bisa kita bilang, badai kecil sedang meniup daun pintu rumah tangga mereka. Ribut kecil, biasalah.

Isteri Mad Banu itu bernama Siti Zaitun, mirip nama orang kampung tempo dulu. Namun demikian, seperti kata pengarang besar itu, apalah arti sebuah nama? Siti Zaitun bukan murni orang dahulu, minimal cara pandangnya terhadap dunia sudah lebih maju dari pada Mad Banu, lakinya.

Bagi Mad Banu, (yang saya yakini dia sebangsa orang konservatif) perempuan apa lagi kalau sudah menjadi isteri, "Wajeb hukumnya ia di rumah. Tidak bisa ditawar." Demikian suatu kali Mad Banu melempar petuah pada Siti Zaitun, isterinya. Bagi Siti Zaitun cara berpikir Mad Banu itu sudah usang, namun demikian Siti Zaitun tidak pernah menentang secara terang-terangan. Ia tetap seperti perempuan umum adanya. Bertabiat lembut dan pandai mengambil hati suami. Siti Zaitun akan mempersiapkan apa yang harus ia siapkan. Semisal memasak, dan rupa-rupa perbuatan lainnya.

Siti Zaitun bukan tipikal perempuan yang kalau berbicara suka mengepalkan tangan kiri dan mengikatkan slayer di leher. Bukan demikian Siti Zaitun. Meski sudah berpikiran maju dan berseberangan dengan pikiran Mad Banu yang konservatif, hanya, laku baik Siti Zaitun itu tak punya celah untuk dipermasalahkan. Mad Banu suka diperlakukan selayaknya suami. Ia bangga menjadi suami. Minimal, dengan hal itu, Mad Banu merasa ia telah berhasil mendidik isterinya.

"Celaka suami kalau ia tidak becus mendidik isteri." Kata Mad Banu pada Siti Zaitun, suatu waktu mereka sedang makan malam. Siti Zaitun mengangguk. Secara prinsip ia setuju dengan hal itu, tapi yang kemudian ia bantah dalam hatinya adalah cara Mad Banu mendidik, "sudah tidak up to date." Demikian Zaitun menggerutu dalam hatinya.

Mad Banu tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang dikerjakan Siti Zaitun. Yang ia tahu bahwa rokok yang ia hisap dan kopi saban pagi yang ia seruput itu adalah hasil dari pekerjaan Siti Zaitun mengajar di Taman Kanak-kanak.

"Begini, Dik. Pusing kepala Abang." Kata Mad Banu, maka Siti Zaitun biasanya akan beranjak ke kamar, menuju lemari pakaian, di bawah baju ada sesuatu, sesuatu itu yang kemauan ia berikan pada Mad Banu. Mad Banu akan tersenyum. "Kau memang cantik. Dan akan selalu cantik." Kata Mad Banu, kemudian serupa burung pipit lepas dari sangkar, cepat-cepat keluar rumah menuju kedai rokok dan menggoyang kaki di kedai kopi dari pagi hingga menjelang azan dhuhur.

Tabiat Mad Banu yang kurang elok dalam pandangan lama apatah lagi pandangan baru itu, jelas kurang mengenakkan bagi Siti Zaitun. Namun Siti Zaitun tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab ia tahu keutuhan rumah tangga itu lebih utama. Itu prinsip yang Siti Zaitun pegang. Sejak sadar kalau Mad Banu orangnya begitu, maka Siti Zaitun−meski dengan getir dan bimbang−memutuskan bahwa memang benar mencari nafkah itu adalah kewajiban suami, tapi memastikan adanya nafkah dalam rumah tangga itu menjadi lebih wajib. Hancur rumah tangga tanpa nafkah, belum tentu bubar rumah tangga lantaran suami tidak bekerja.

Mad Banu seperti tidak pernah sadar akan ucapannya. "Isteri yang baik itu adalah isteri yang senantiasa menjaga rumah suaminya." Kata Mad Banu pada sesi makan malam yang lain. Siti Zaitun ingin meluapkan ketidaksetujuannya, "Kalau aku tidak mengajar. Bukan hanya anak-anak itu akan bodoh, tapi akan lahir lagi generasi tua yang seperti kamu, Banu. Berbicara tapi tidak mengerti apa yang dibicarakan." Namun seperti yang kita tahu, Siti Zaitun akan tetap tersenyum. Lelaki itu akan bangga diri melihat betapa isterinya menurut padanya.

Kemudian baru timbul masalah ketika Siti Zaitun di sela waktunya mengajar ia menyempatkan belajar menulis. Mulanya ia menulis dongeng yang pernah dituturkan neneknya dulu sewaktu ia masih kecil. Kebiasaan mendongeng itu membawa berkat bagi Siti Zaitun, ia menjadi guru yang digemari anak-anak. Kemudian Siti Zaitun merambah ke cerita remaja, kabar bagus juga, setelah jamnya selesai di Taman Kanak-kanak Nurul Islam, ia diminta mengajar bahasa Indonesia MTs Nurul Iman yang letaknya hanya sekitar dua ratus meter dari TK Nurul Islam.

Makin tinggi ilmu seseorang makin ia merasa tidak punya apa-apa. Siti Zaitun sudah punya kemampuan menulis cerpen remaja. Oleh suatu bacaan baru ia ingin pula belajar menulis cerita pendek dewasa. Ia pelajari beberapa cerita pendek masalah keluarga. "Wah. Sesederhana ini." Katanya. Ia mulai menekuni cerita permasalahan keluarga. 

Nasib baik bagi seseorang, kabar buruk bagi yang lain. Pernah dengar kata-kata seperti itu? Siti Zaitun mengalami hal itu. Kabar baiknya, cerita yang dibuatnya disambut baik oleh khalayak pembaca. Kritikus seperti tak habis-habis meninggikan namanya. Siti Zaitun menjadi satu di antara dua orang dari kampungnya yang pernah masuk koran. Seorang lagi, laki-laki, itu pun lantaran dibekuk sebagai pengedar ganja. Siti Zaitun bersyukur bangga lantaran namanya bukan dibuat dengan nama samaran, wajahnya tidak dikaburkan. Berbeda dengan lelaki tempo hari itu.

Siti Zaitun mendapat undangan menjadi pembicara, nasib baiknya langsung diundang ke tingkat provinsi. Ia akan diberikan penghargaan. Dia diminta menyampaikan orasi. Bangga bukan buatan. Mad Banu masih belum tahu apa-apa. Yang ia tahu bahwa rokoknya sudah berganti merek yang lebih mahal.

Siti Zaitun menyampaikan perihal undangan itu. Mad Banu bangga. Ia merasa telah berhasil mendidik isterinya. Di samping ia sebenarnya merasa direndahkan oleh keadaan. Tapi sementara Mad Banu menepis hal itu. Sebab "Isteri yang cerdas adalah yang menurut pada suami" katanya, bukan hanya pada Siti Zaitun tapi juga pada adik perempuannya yang sudah menjadi isteri orang itu.

"Contoh kakakmu itu. Diundang ke provinsi dia." Kata Mad Banu pada adiknya. Sebenarnya ia bermaksud, sungguh itu berkat didikannya.

Cerita sengaja kita persingkat. Akhirnya mereka sampai ke ibu kota provinsi. Bukan main takjubnya Mad Banu ketika ia disambut di hotel hampir mewah. Malam itu Siti Zaitun agak gelisah, sebab besok pagi adalah hari yang akan disaksikan banyak orang penting dan tentu pula bakal ditanyakan hal-hal yang penting. Ia gugup. Mad Banu asik dengan rokok dan kopi. Ia duduk di balkon. Lampu-lampu rumah terlihat lebih rendah. Lampu kendaraan yang lalu lalang, mirip kunang-kunang musim kawin.

Hari bersejarah itu berlangsung dengan meriah. Siti Zaitun menjawab semua pertanyaan dengan baik. Ia juga menyampaikan orasi yang tak umum, membuat orang-orang tercengang. Hanya Mad Banu yang menutup muka. Ia tahankan segala malu. Sampai akhirnya mereka pulang.

"Kebodohan seseorang memang bermanfaat bagi orang yang cerdas. Semua orang sudah tahu isi dapur kita. Di kampung ini, baiknya aku berjalan telanjang saja." Kata Mad Banu pada Siti Zaitun.

"Aku hanya melakukan tugasku sebagai pengarang." Jawab Siti Zaitun sambil silih berganti antara menyuap nasi dan mengusap air mata.

"Apa bedanya. Cerita tetap cerita. Semua orang tahu perihal periuk kita." Kata Mad Banu sembari menyembunyikan air matanya, karena ia lelaki di depan isterinya. Aih, keduanya menangis pada kesempatan makan malam itu.

Lam Gawee, 10 Januari 2021.




 

Posting Komentar

0 Komentar