Dirakit oleh: Alek
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menyatakan tata niaga
pupuk untuk pertanian dipengaruhi oleh banyaknya mafia yang mengambil keuntungan,
termasuk sindikasi pupuk palsu yang merugikan petani dan merusak lahan
pertanian. Lebih dari 700 perusahaan sedang diusut dan sekitar 400 perusahaan
lainnya telah dihukum. Pertimbangan mafia dalam sektor pertanian,
tidaklah jauh dampak dari revolusi hijau.
Indonesia negara yang
kaya
akan sumber daya alam, sumber daya pertanian
dalam
skala besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 40,64
juta pekerja di
sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada Februari 2022. Petani yang
merupakan penyokong kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tinggal di
perkotaan. Kebutuhan fundamental
manusia salah satunya merupakan kebutuhan akan nutrisi. Sektor
yang berperan penting dalam pemenuhan nutrisi adalah dengan pertahanan di sektor pertanian. Ada banyak alasan
sektor pertanian harus dipertahankan,
di Indonesia untuk
mendorong
pertahanan pertanian hal ini dapat
direalisasikan dengan baik dan kognitif.
Sektor pertanian yang
menjadi pemenuhan pangan dipandang sebagai faktor yang sangat strategis. Hal ini dibuktikan dengan adanya
revolusi hijau dari zaman orde baru. Hal
pertama yang akan kita dalami
lebih
dalam adalah apa yang dimaksud dengan revolusi hijau? Revolusi hijau adalah
revolusi di bidang pertanian yang mengubah secara fundamental cara produksi
pertanian. Revolusi hijau adalah
reformasi sistem pertanian secara global yang terjadi sejak 1950-an hingga
1960-an. Revolusi hijau bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pangan
dengan cara mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Strategi
revolusi hijau memang mampu meningkatkan produksi pangan dan mengatasi krisis
kelaparan di berbagai belahan dunia, tapi kini umat manusia harus membayar dampak buruk dari
revolusi hijau, seperti kepunahan keanekaragaman hayati, degradasi ekosistem
dan perubahan iklim. Revolusi hijau juga membawa
dampak terhadap kehidupan petani. Ia membuat modal produksi menjadi lebih mahal
karena petani harus membayar lebih untuk pengolahan tanah, bibit unggul, pupuk
dan pestisida sintetis. Permasalahan tidak hanya pada
harga yang harus dibayar mahal, namun ketersediaan pupuk yang langka menghambat
produktifitas pertani.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Gus
Syatori, bahwa revolusi hijau adalah perubahan cara produksi dalam sektor petanian baik cara produksi maupun
distribusi. Gus Syatori sempat menyinggung apa yang ada
di
revolusi? Terdapat hal yang kita lihat sebagai bentuk revolusi
yang
dicadangkan pada masa orde baru yaitu salah satunya adalah perubahan cara
membajak sawah dan akselerasi jumlah dalam pertahun, yang dulunya hanya
dapat panen satu kali setahun. Namun
dengan dilakukan percepatan sistem
produksi melalui revolusi hijau, petani bisa penen tiga sampai
empat kali dalam setahun.
Hal ini menjadikan pertanian sebagai bentuk
eksploitasi
untuk mendukung pembangunan nasional pada masa
itu.
Cara kerja dari revolusi hijau ini sangat mudah kita temukan
sampai sekarang, sebagai bentuk warisan zaman orde baru. Bentuk cara
kerja yang masih dijalankan dari
revolusi hijau adalah penggunaaan bibit yang diimpor dari luar, cara bajak
sawah yang menggunakan traktor untuk mendukung
percepatan cara produksi pertanian. Di sisi lain, kita
bisa temukan adalah penggunaan pupuk kimia sebagai suatu bentuk revolusi
hijau. Revolusi hijau dapat kita
kenali melalui cara kerja dalam beberapa hal, yang pertama
adalah penggunaan alat yang lebih modern, bahan yang digunakan merupakan sangat
jauh dari kata ramah lingkungan bahkan cenderung sebagai
bentuk perusakan lingkungan dan hal yang terakhir yang bisa kita kenali sebagai
bentuk revolusi hijau adalah hasil
dari sektor pertanian,
digunakan
untuk sumber
pendapatan negara (Devisa).
Revolusi hijau merupakan
program andalan Suharto setelah tiga atau lima
tahun
menjadi presiden. Pada
dasarnya disebut revolusi, dikarenakan ada
perubahan besar-besaran dari perubahan
paradigma petani sampai ke praktik
pembangunan. Dalam perubahan paradigma petani yang
dulunya pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun setelah
ada program revolusi hijau sektor pertanian dijadikan salah satu sektor
ekonomi, yang melahirkan tengkulak, dan kelas petani penguasa dan petani
pekerja. Pada perubahan pembangunan menjadikan pertanian sebagai sumber dana
untuk melakukan pembangunan, sehingga petani dipandang sebagai objek
eksploitasi. Sebenarnya pembangunan adalah salah satu
sektor yang paling menjanjikan, namun terkendala
dalam pembiayaan. Sehingga pada masa itu
mengambil pertanian sebagai sektor untuk direvolusi.
Pertanian dengan program pembanguan menjadi hal yang perlu kita
perhatikan karena apabila pertanian
menjadi sektor pembangunan mengartikan pertanian
sebagai sektor utama untuk menopang
pembangunan nasional,
artinya akan menjadi tumpuan harapan dan landing
ekonomi nasional. Karena pada saat itu pertanian merupakan kekuatan penghasil
devisa negara.
Pertanian pada dasarnya sebelum menjadi sektor
yang dianggap strategis
pun
sudah menjadi sektor yang menyumbang paling besar devisi negara.
Hal ini karena didukung oleh dua hal, pertama karena struktur tanah yang
mendukung dan yang kedua orang Indonesia pada dasarnya adalah para
petani. Bagaimana ini diubah menjadi
suatu program pembangunan. Hasilnya pembangunan yang
dikatakan revolusi adalah percepatan akselerasi bagaimana sektor pertanian,
bisa
menjadi betul-betul menjadi penghasilan bagi pemerintah dalam
program
pembangunan. Dan dapat menopang pembangunan nasional, atau
sekarang dikenal dengan Proyek
Strategis Nasional (PSN).
Hal Kemudian yang Dilakukan Pemerintah
1.
Ubah Sistem Pertanian
Apa yang harus diubah? Yang
diubah adalah paradigma berpikir petani terlebih dulu untuk membelokkan
eksploitasi dalam sektor pertanian. Kalau lahiriyah petanian melakukan
aktivitas pertanian untuk mempertahankan hidup bukan arti kata petani sebagai
mereka yang turun sawah tapi mereka juga yang ke kebun, pertenakan dll. Walaupun panen hanya sekali dalam
setahun, namun hasilnya bisa cukup untuk stok tiga
ke depan, tapi untuk makan dan kebutuhan para pertani,
bukan untuk menjadi penghasilan negara. Dalam paradigma pertanian untuk
penghasilan devisi negara maka harus ada
percepatan untuk menunjang hasil pertanian. Dan pertanian harus menjadi suatu
komunitas, menjadi barang yang bisa dijual-belikan oleh negara, bukan lagi menjadi
sektor ketahanan pangan, bukan lagi
menjadi penguatan pangan nasional tapi
menjadi komunitas yang bisa diperjual-belikan agar bisa
menghasilkan pemasukan bagi negara. Dipercepatan yang artinya
paradigma diubah menjadi industri pertanian penghasil
devisa negara kemudian
menjadi
barang cadangan, maka diciptakanlah
lembaga lembaga negara yang mengontrol sektor petanian. Yang
mengontrol adalah kelompok-kelompok tani bentukan
petani sendiri, yang pada
awalnya menggunakan pemikiran sesat serta mengontrol semua sektor dari awal produksi
sampai pada pemasaran. Ketika komunitas menjadi barang cadangan yang kemudian
akhirnya bisa menjadi pemasukan bagi negara.
Dalam hal akselerasi ini, ada macam-macam hal yang dilakukan: Pertama, yang dulunya setahun sekali, sekarang harus ada peningkatan produksi dua sampai tiga kali dalam setahun. Paradigma yang dibangun ini adalah bagaimana bisa menghasilkan hasil panen yang bisa disebar ke daerah lain atau bisa diperjual-belikan. Paradigma berpikirnya begini, kalau setahun hanya dapat sekali panen, hal ini hanya mencukupi ketahanan pangan. Hanya menjadi hasil yang distok oleh para petani di lumbumg padi, tapi dengan adanya peningkatan hasil pertanian mampu dijadikan komunitas jual beli yang memiliki nilai pasar. Makanya pada saat itu lumbung padi dihilangkan agar pertani tidak bisa menumpuk hasil panen lagi.
2.
Sistem Produksi Diubah
Untuk mendukung
akselerasi percepatan sektor pertanian dari
paradigma yang sudah dibangun harus ada
perubahan sistem produksi pertanian, harus diubah untuk
mendukung pembangunan nasional.
Dalam hal sistem produksi yang diubah mulai dari bibit yang digunakan petani, bibit
yang
dulu hanya mampu untuk sekali panen, sekarang dimodifikasi untuk bisa
dipercepat. Hal ini lagi-lagi mendorong impor
bibit untuk pertanian dari Thailand. Bibit
lokal
dihilangkan karena akan mempersulit
akselerasi
pertanian.
Bagaimana dampak
revolusi hijau bagi kehidupan petani dan dunia pertanian di Indonesia?
Pertanian merupakan
salah satu elemen mendasar yang harus dimiliki
oleh
negara untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan.
Namun sayangnya kurangnya perhatian terhadap
sektor pertanian menimbulkan kurangnya
minat orang untuk menjadi seorang petani. Apalagi
didorong dengan kemanjuan teknologi yang
begitu pesat. Sadar atau tidak, ini merupakan
suatu hal yang sangat
memprihatinkan bagi kehidupan
pertanian Indonesia.
Dampak yang
sangat
besar dari revolusi hijau adalah perubahan besar-besaran cara produksi
pertanian dan kerusakan yang ditimbulkan dari
efek revolusi hijau. Dampak besar adalah
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan bahan kimia, baik dalam
hal penggunaan pupuk maupun pestisida. Hal ini sangat disayangkan karena jumlah lahan
pertanian menjadi berkurang akibat rusaknya
unsur hara tanah.
Untuk membuktikan sektor pertanian kehilangan eksistensinya bisa kita buktikan dengan sensus beberapa tahun terakhir. Jumlah petani yang mencapai 31 juta pada tahun 2003 ternyata hanya tersisa 26 juta pada tahun 2013. Penurunan hingga sekitar 17% tersebut sungguh mengkhawatirkan karena ini berarti telah terjadi perpindahan mata pencaharian utama dari sektor pertanian ke sektor yang lain. Pada sektor pertanian, rata-rata kepemilikan lahan petani yang sebelum mencapai 0.9 ha di tahun 1982 ternyata turun menjadi 0.3 ha (di pulau jawa) pada tahun 2013. Artinya rasio jumlah petani terhadap skala unit budidaya pertanian menurun. Ini artinya jumlah petani guram bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang pada Februari 2021. Jumlah tersebut meningkat 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 lalu sebesar 6,93 juta orang. Sedangkan jumlah petani di tahun 2021 di Indonesia berjumlah sekitar 38,77 juta orang, padahal sepuluh tahun yang lalu berjumlah sekitar 42,46 juta jiwa. Terdapat penurunan yang cukup signifikan.
3. Bagaimana Problematika Terkini Dunia Pertanian
Di Indonesia Pasca Revolusi Hijau?
Problematika yang terjadi
akibat revolusi hijau dapat kita bagi menjadi dua hal mendasar hal pertama faktor internal dan yang
kedua faktor eksternal. Salah satu
faktor internal yang meresahkan petani di desa adalah ulah
para calo, peran mereka sangat
mempengaruhi harga gabah. Misalnya harga
gabah senilai Rp 4.500 bisa sampai
ke
tangan petani Rp 4.300. Pengurangan itu
untuk komisi si calo, karena sudah menjadi perantara petani dengan tengkulak.
Padahal petani tidak menyuruh mereka buat mencari tengkulak. Lebih
ironisnya, calo ini sama sekali tidak membantu petani.
Misalnya, membantu angkat-angkat atau membantu nimbang
karung gabah. Kerja mereka hanya duduk
saja. Petani yang menghitung hasil
panen dengan tengkulak, sedangkan si calo
hanya mendapat komisi. Petani
resah, hanya bingung bagaimana
cara melawannya? Malah praktik
itu
dianggap lumrah. Dan para calo ini bukan siapa-siapa, tapi
hanya orang-orang dekat yang satu desa. Setiap dusun ada satu
calo. Sebagai anak petani, saya marah dan
bingung, apa yang harus
dilakukan ?
Petani hanya
mendapatkan 30 % sedangakan penjualan ke konsumen secara 70 %. Pada dasarnya
penggunaan bibit lokal tidak akan bisa
mendukung program pemerintah yaitu percepatan pembangunan
melaui sektor pertanian.
Yang sangat memprihatinkan adalah peralihan
penggunaan pupuk, dari penggunaan pupuk organik
menjadi
pupuk anorganik. Hal ini dikarenakan apabila penggunaan pupuk organik
memakan waktu lama dan menghambat
pertumbuhan di sektor pertanian. Penggunaan
pupuk organik tidak akan mendukung akselerasi bibit impor
dan
akan mendatangkan permasalahan baru. Proses untuk
mendukung akselerasi akan ada banyak hal yang
harus didatangkan dari luar untuk mendukung percepatan produksi pertanian.
Pupuk didatangkan, alat-alat produksi modern
pun
didatangkan. Menggunakan alat tradisonal akan
menghambat produksi. Salah satu hal yang bisa
kita
lihat adalah perbandingan penggunakan
traktor dengan penggunakan kerbau
atau
sapi untuk membajak sawah.
Cepat
atau lambat, alat-alat yang digunakan
pun harus diganti dan disesuaikan dengan kebutuhan produksi. Mulai dari
taktor cangkul yang besar itu. Hal ini juga akan
medorong persoalan air di sekitar sektor pertanian. Maka akan dibangun saluran-saluran irigasi untuk
mecukupi kebutuhan akan air. Pertanian tradisional hanya memanfaatkan
air hujan sabagai produksi, namun hal ini akan sangat
berbeda apabila dilakukan akselerasi pertanian maka akan membutuhkan air lebih banyak
untuk
dialirkan ke persawahan. Hal
ini
juga diperlukan pembangunan bendungan dengan berbagai macam
bentuk untuk menampung air. Pembangunan bendungan tanpa kita
sadari akan menimbulkan persoalan perebutan
lahan yaitu persoalan tanah, terutama tanah adat. Dalam pembangunan
ini akan menghilangkan ruang hidup warga. Tanah tidak
hanya sebagai tempat tinggal bagi warga namun tanah secara
harfiah merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat.
Tanah menghasilkan berbagai sumber kehidupan bagi masyarakat.
Dalam pembangunan bendungan
ini
akan merusak lingkungan dengan sendirinya, lingkungan yang asri
akan dirusak dengan debit air yang tak terkendali dari saluran-saluran pembangunan. Dulunya debit air dapat
dikendalikan namun hal ini akan kesulitan apabila adanya
pembangunan saluran irigasi. Hal lain juga dikarenakan program-program pembangunan yang mangkrak dari efek
revolusi hijau. Dan pembangunan irigasi
yang sembarangan dan
tidak memperhatikan sektor alam dan sosiologi. Dalam hal ini seharusnya
yang penting untuk diperhatikan adalah
sebuah teori das sollen das sein.
Efek pembangunan ini menimbulkan
banyak sekali dampak negatif,
sungai-sungai yang mengalami kekeringan dari
dampak pembangunan saluran yang sembarangan. Hal yang tidak perhatikan dalam
pembangunan ini adalah bagaimana kesediaan debit air dari
sungai yang menyediakan sumber air. Saluran air yang dikerjakan asal jadi
menjadi hal utama dalam
permasalahan ini.
Ada satu hal penting yang
harus diperhatikan lagi adalah dengan pemilihan tanah. Dampak akselerasi
pertanian adalah bagaimana akan menimbulkan polusi tanah. Dalam menjalankan akselerasi pertanian akan
menimbulkan perbedaan kelas
antara pertanian itu sendiri. Dalam hal yang dapat diikuti
petani dari program pemerintah adalah mereka yang memiliki tanah dalam jumlah hektar yang
banyak. Mereka yang hanya memiliki sedikit tanah tidak dapat
mengikuti program subsidi pupuk dan bibit untuk pertanian.
Efek yang dirasakan dari
program ini adalah matinya tanah. Hilangnya unsur hara dalam tanah karena
disebabkan penggunaan bahan kimia dari pupuk anorganik dan pestisida.
Kemudian faktor eksternal adalah faktor adanya pertambangan yang mengakibatkan
rusaknya tanah dan faktor lain yang datang dari eksploitasi tanah Indonesia. Selain pengaruh pertambangan, faktor pertumbungan
industri media juga mempengaruhi pola pikir pemuda yang menggunakannnya.
Mereka akan dipengaruhi untuk menjadi seorang pengawai kantoran atau pembisnis
ketimbang menjadi seorang petani.
11 April 2023
0 Komentar