Sebuah kisah yang mana cerita ini hanyalah obrolan kopi siang yang begitu cerah bersama Arif. Mestinya kau ingat bagaimana tingkah anak itu, sangat menggemaskan. Siang yang terik di suatu hari, aku ditodong oleh bocah itu, untuk menceritakan kisah nabi kepadanya. Aku sangat yakin kalau bocah itu sudah mendengar beberapa kisah nabi berulang kali, mungkin ia hanya berniat meminta cerita dari versiku. Aku tak mengamininya, lalu kutawarkan cerita lain yang memang bersangkutan dengan cerita nabi. Seekor ikan yang amat besar, yang mampu menelan apa saja kecuali menelan bumi itu sendiri. Kalau boleh jujur, aku sama sekali tak bisa membesar-besarkan perjuangan nabi di depan bocah itu, amatlah musykil. Cerita nabi jelas-jelas tercantum dalam kitab suci kita, dan itu sangatlah sulit bila kita egois dalam menafsirkannya begitu saja. Itulah alasannya mengapa aku tak menceritakan kisah nabi kepadanya, meski aku tahu dan sedikit paham akan kisah itu sendiri. Namun, dengan cerita tentang ikan, aku merasa leluasa untuk menjabarkannya dengan sesukaku, tapi kuselipkan beberapa pesan yang baik di dalamnya. Kuawali cerita dengan meminum kopi buatanku, yang satunya lagi kubuatkan untuknya. Ya, aku sedang duduk bersama seorang adik sekaligus teman, kuberikan ia kopi karena itu kesukaanku, dan ia pun suka minuman itu. Tak ada larangan dari orang tuanya.
Ikan ini, kuulangi,
amatlah besar. Ia mampu menelan apa saja termasuk kapal. Di pagi hari ia
mencari makan dan mengelilingi lautan, sementara di malam yang gelap dan
mencekam ia hanya sibuk mengucap kalimat-kalimat baik untuk Tuhan. Selalu saja
mengingatnya hingga akhirnya ia terlelap dan tenggelam bersama mimpinya. Ia
terus mengulangi hal itu hingga sampai saatnya menelan Yunus. Setelah ia
muntahkan Yunus dan mengarungi lautan yang dalam bersamanya, ia kembali
mengulangi rutinitasnya seperti semula. Hingga pada akhirnya ia bertemu penyu
teman lautnya yang dapat hidup di dua alam. Ia selalu membawa cerita dari daratan, bahwa
di sana juga banyak keajaiban yang tak di temukan di laut. Hewan-hewan
di darat justru memiliki kejujuran perasaan yang gamblang. Ia tak dapat
menyembunyikan sedih dan senangnya begitu saja. Ia dapat mabuk dan
senang-senang. Sementara di lautan yang luas, yang katanya banyak menyimpan misteri
justru selalu menyembunyikan berbagai hal, bahkan hal kecil sekalipun. Seekor
gajah yang ia lihat mendekati pantai mengeluarkan air mata yang begitu deras.
Ia baru saja kehilangan anak semata wayangnya. Hewan-hewan lain mendekatinya
dan mencoba meredakan hatinya yang telah hangus terbakar oleh pilu yang
dideritanya. Lantas penyu bertanya kepada Nun, teman dekatnya, dan kebetulan
hanya Nun yang pertama kali ia jumpai setelah menyelam ke dalam laut.
“Kenapa aku tak pernah
melihat kau maupun ikan lainnya menangis?” ujar penyu “Hewan-hewan di atas
menyenangkan, mereka penuh perhatian kepada teman-temannya.” Sambungnya.
“Bagaimana kau bisa
melihatku menangis, sementara aku berada di dalam air?” Jawab Nun. “Untuk apa
memperlihatkan sedih hanya untuk diperhatikan? Apa gunanya sedih semacam itu?”
sambungnya.
“Betapapun aku
menangis, tak ada yang mengetahuinya kecuali Tuhan. Sedihku hanya kepada-Nya,
sementara senangku juga untuk-Nya, dan untukmu. Aku tak dapat membagikan sedihku
kepada siapapun termasuk temanku, aku tak ingin menularkan sedih.” Ujar Nun.
“Kau tahu bagaimana
perasaanku saat kutelan seorang manusia yang menetap di tubuhku karena
Perintah-Nya?” berkata Nun. “Saat itu aku tak sempat mengingat-Nya seperti
biasa, aku terganggu dengan sebuah nyawa yang berada di dalam perutku ini. Aku
amatlah sedih” sambungnya.
Nun mengatakan, kita
semua tentu pernah sedih yang amat memilukan, tapi yang dibutuhkan oleh seorang
teman adalah pemberian yang berarti dan berharga. Kita tak dapat menghadiahi
duri kepada sahabat, begitupun sebaliknya. Kita memang ingin sekali
mengutarakan segala isi hati, termasuk duka. Tapi kenyataannya hari ini, orang
hanya pura-pura bersifat perhatian dengan alasan demi sesama makhluk hidup. Tak
ada salahnya dengan persoalan itu. Yang menjadi persoalannya ialah bagaimana
kita dapat mengendalikan sedih agar tak sering meluap-luap keluar. Karena hanya
dengan melemparkan senyum saja sudah ada dalam perkataan nabi itu sendiri, ia
adalah sedekah. Sementara bermuka murung dan masam kepada lawan bicara tak
menimbulkan balasan apa-apa.
Nun
kau yang agung nan besar.
Wujudmu
lenyap begitu saja
Tak
ada yang menyematkan namamu di dalam kisah
Tak
ada yang mengetahui bila kau hidup
Tak
ada makhluk yang benar-benar tahu kapan engkau menangis
Namun bila Yunus kembali …
Begitulah singkat ceritanya tentang Nun. Hari itu Arif hanya mendengar hingga ceritanya berakhir. Dan menghabiskan secangkir kopi sampai bersih lisyin mengkilap. Arif pergi, melompat-lompat kesana dan kemari. Dan bertanya kepada ayahnya “Ikan paus itu bagaimana bentuknya, Ayah?”
0 Komentar