Mu dan Nu; Sebenarnya Kita Sama-Sama Merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal

 Dirakit Oleh: Alek

Muhammadiyah melakukan manuver dalam menetapkan 1 Syawal atau hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah, bahkan ketika masih di awal-awal puasa, yang mana akan jatuh pada Jumat 21 April 2023. Sedangkan Nahdlatul Ulama ketinggalan di persimpangan Wirobrajan karena masih melalukan pemantauan hilal dan dilanjutkan dengan sidang isbat oleh KEMENAG untuk menentukan 1 Syawal 1444 H.

            Tanggal 21 dan 22 april 2023 merupakan bentuk keberagaman dalam beragama. Dalam perbedaan itu, kita belum mengetahui apakah sebuah keberagaman yang merupakan bentuk kebebasan dalam memeluk agama atau hanya perpecahan untuk menciptakan kebenaran masing-masing sekte. Pada tanggal 21 April, tepatnya hari jumat, Sebagian umat islam yang sudah menjalankan ibadah shalat ied dengan berpedoman pada hasil perhitungan hisab Muhammadiyah.

        Melihat perbedaan ini menjadi salah yang sangat menarik untuk kita kaji dari segi pemaknaan 1 syawal dari kedua belah pihak. Fenomena ini bukan hanya pada perbedaan waktu shalat ied, namun juga perbedaan dalam waktu mengakhiri puasa. Pagi itu, ada yang sebagian masih makan sahur, ada juga warga yang siap-siap mau ke mesjid untuk shalat ied. Ada yang berangkat menggunakan sarung, celana panjang, ada juga yang berangkat dengan menggunakan celana pendek, tapi bukan untuk shalat ied melainkan pergi ke pasar.

Alasan mendasar yang melahirkan perbedaan dalam menentukan 1 syawal terletak pada metode rukyat dalam melihat hilal yang digunakan. Dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, metode yang digunakan adalah hisab hakiki wujudul hilal, yakni matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan walaupun hanya berjarak satu menit atau kurang. Metode pertama adalah metode Rukyatul Hilal atau singkatnya disebut Rukyat (penglihatan).

Metode Rukyat Hilal yang merupakan metode pertama digunakan oleh umat muslim untuk menentukan 1 syawal, metode ini sudah digunakan dan diajarkan langsung oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Metode Rukyatul Hilal awal dan akhir bulan diputuskan berdasarkan hasil melihat terhadap bulan baru.

Dari masa awal mula peradaban islam metode yang digunakan untuk melihat momentum keagamaan merupakan metode rukyat.  Dalam metode ini lebih mengedepankan kejelian dalam melihat secara langsung terhadap kemunculan bulan baru. Karena metode ini lebih pada pengalaman dan tempat untuk melihat bulan. Bulan merupakan sutu rotasi ilmiah yang terjadi setiap harinya. Kemunculan bulan bisa kita saksikan secara langsung dengan kasat mata pada malam hari. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita dalam memperhitungkan jumlah kemunculan bulan dalam tahun hijriah?

Metode ini bukan tanpa dasar, hadist Nabi secara jelas menjadi salah satu pedoman umat untuk melakukan Rukyat. Misalnya “berpuasalah ketika kamu melihat bulan baru (Ramadhan), dan berbukalah/akhirilah bulan puasa ketika kamu melihat bulan baru (Syawal)”. Mengakhiri disini adalah berhenti untuk melakukan ibadah puasa, karena sudah memasuki bulan baru.

Metode ini masih banyak digunakan oleh ORMAS Nahdlatul Ulama dan Pemerintahan untuk menentukan rukyat 1 Syawal. Bagi yang menggunakan metode ini, mengganggap rukyat hilal lebih relevan dan kuat untuk digunakan, karena bulan baru bisa kita lihat dengan jelas dan sudah menjadi tradisi sejak era Nabi Muhammad. Metode rukyat hilal apabila kita kaitkan dengan hadist Nabi di atas dengan mengambil sempel kata “MELIHAT”, maka penggunaan metode ini tidak diragukan lagi keabsahannya. Metode rukyat ini didukung dengan kemajuan teknologi dengan adanya peralatan astronomi yang semakin canggih, aktivitas Rukyat dapat berjalan dengan lebih baik.

Meskipun Indonesia mayoritas umat islam, namun memiliki dua poros besar dalam menentukan rukyat, poros pertama adalah Nahdlatul Ulama dan pemerintahan dan yang kedua Muhammadiyah. Sering kali dalam dua poros ini terjadi perbedaan dalam menentukan rukyat. Hal ini didasari perbedaan cara dalam menentukan rukyat. Kalau pemerintah dan Nahdlatul Ulama menggunakan metode Rukyatul Hilal atau singkatnya disebut Rukyat (penglihatan), namun poros kedua menggunakan metode hisab atau perhitungan.

Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab atau metode penghitungan. Seperti namanya, metode hisab lebih mengedepankan perhitungan atau kalkulasi kalender Hijriah berdasarkan pada kalkulasi matematis dan astronomis. Kelihatan metode ini lebih modern karena untuk dapat menggunkan metode ini diperlukan keahlian khusus dalam melakukan perhitungan yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan sistematis perhitungan.

Namun penggunaan metode hisab masih kita pelajari apakah sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan, berpuasalah ketika kamu melihat bulan baru (Ramadhan), dan berbukalah/akhirilah bulan puasa ketika kamu melihat bulan baru (Syawal). Namun secara jelas dengan metode hisab kita hanya memperkiraan datangnya bulan baru, bukan melihat bulan baru. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), melihat adalah menggunakan mata untuk memandang atau memperhatikan. Ini artinya, ketika kita sedang memandang atau memperhatikan sesuatu menggunakan mata, maka kita sedang melihat. Dari pengertian ini kita bisa menyimpulkan, bahwasanya metode hisab tidak bersandar pada hadist Nabi di atas. Namun hal ini adalah bentuk perkembangan hukum islam melalui ijtima’ ulama.

Penggunaan Metode hisab umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian ilmu falak. Ahli falak adalah para pakar yang memiliki keahlian dalam memahami peredaran benda yang berada di laur angkasa baik itu bulan, matahari dan benda luar angkasa lainnya. Pemahaman mereka akan ilmu astronomi yang dapat digunakan untuk menghitung penanggalan dan siklus astronomis seperti gerhana.

Di Indonesia poros yang menggunakan metode hisab diterapkan oleh Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam yang mengusung upaya tajdid (pembaruan) hukum Islam dari TBC (Tahayul, Bid'ah, Churofat). Muhammadiyah menggunakan metode yang disebut Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang artinya penghitungan kalender berdasarkan posisi astronomis bulan tanpa harus dikonfirmasi melalui penglihatan fisik bulan secara langsung. Metode ini memang berbeda dengan metode yang digunakan poros pertama yang lebih mengutamakan penglihatan bentuk fisik bulan.

 

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan yang cukup besar dan memiliki berbagai sekmen pengikut tentunya memiliki alasan kuat kenapa menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, Berikut ini adalah alasan kenapa Muhammadiyah memilih untuk menggunkan metode ini;

Pertama, Muhammadiyah melihat penggunaan motode ini sebagai salah satu bentuk pembaharuan dan kemajuan umat islam dan sesuai dengan kondisi perkembangan masyarakat. Kondisi terkini umat muslim lebih terdidik dari pada zaman sebelumnya, yaitu yang telah terdidik dengan baik dalam ilmu astronomi, matematika dan fisika. Sehingga tidak menjadi suatu alasan metode ini untuk ditinggalkan.

Pada zaman Nabi Muhammad (abad ke-7 Masehi), masyarakat Muslim belum memahami cara menghitung dengan baik, sehingga Nabi Muhammad memberikan arahan agar awal bulan ditentukan dengan penglihatan bulan sabit langsung dengan mata telanjang. Dalam konteks sejarah, ketidakmampuan masyarakat Muslim dalam ilmu matematika dan astronomi ini menjadi landasan hukum dalam dianjurkannya metode Rukyat ketimbang Hisab.

 

Muhammadiyah memiliki pandangan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman, metode Rukyatul Hilal semakin tidak relevan digunakan lagi di masa sekarang. Ini membuat Muhammadiyah mengadopsi metode hisab yang lebih saintifik.

Kedua, Muhammadiyah menganggap metode Hisab memiliki kepastian dan akurasi yang lebih besar. Metode Rukyat, menurut Muhammadiyah, hanya akan memberikan konfirmasi penanggalan untuk satu hari. Sementara, Hisab mengonfirmasi penanggalan untuk rentang waktu yang lebih panjang, sehingga dapat digunakan terus-menerus. Metode hisab juga dianggap memiliki hukum yang jelas. Sementara itu, pemerintah Indonesia saat ini mengadopsi metode yang mempertemukan perbedaan antara metode Hisab dan Rukyat yaitu metode hisab imkanur rukyat. Terlepas dari metode apa yang digunakan adalah kedua poros ini. Pada dasarnya kita akan melaksanakan lebaran pada 1 Syawal (bulan baru). Namun hal yang perlu kita kritisi dari perbedaan ini adalah akan menimbulkan pemisahan golongan dalam melaksanakan ibadah shalat idul fitri. Bagaimana negara dalam pidatonya menganjurkan kita untuk bersatu dalam bersama, momentum besar kaum mayoritas saja masih terbagi menjadi dua.

Masyarakat akan kesulitan untuk mempertemukan kedua titik perbedaan ini. Dengan semua pembenarannya. Namun hal yang perlu digarisbawahi adalah keberagaman, jangan menjadi awal yang memecahk belahkan masyarakat, jangan sampai ada oknum yang berupaya untuk mempersulit umat dalam menjalankan ibadahnya. Lebaran di hari apapun! Penindasan tetap masih saja terjadi. Hal kecil yang bisa menjadi parameter temuan ini adalah masih banyak masyarakat yang rela tidak melakukan ibadah, namun memilih untuk menjadi pengemis di waktu pelaksanaan shalat ied.

 

Posting Komentar

0 Komentar