Maradona dan Kelas Penjaskes



Oleh: Yi Lawe*

    Pagi itu pelajaran penjaskes. Sebelumnya sudah dibuat kesepakatan, sekali main bola dan sekali main kasti. Agaknya wacana pemerataan hak sudah pula dikenal oleh gurunya Mad Banu itu. Pertemuan pekan ini adalah jatah bagi perempuan, kata Pak Ali. Sebenarnya hal ini sudah tidak bisa diganggu, tidak pula menerima macam gugatan.  

    Namun sudah menjadi pengetahuan umum, kalau-kalau tabiat Mad Banu dan sekutunya adalah memberontak. Padahal itu kita tahu bekala, aturan yang mereka buat sendiri. Singkat kata mereka tidak terima. “Bola! Main bola!” Prak! Prak! Prak! Serupa sebuah yel-yel tuntutan. Syukurlah, yel-yel itu tidak dilakukan di depan kantor kepala sekolah. Masih ada untungnya.

    Pak Ali, guru olahraga yang sangat gemar menonton tinju itu, bilang begini “Sesuai kesepakatan. Ini negara hukum. Oh, maksud Bapak, kemarin kita kan sudah buat kesepakatan. Pacta sun servanda!”

    Laki-laki yang bergabung dalam persekutuan Mad Banu itu tetap saja tidak menerima. Padahal sebagaimana sudah disebutkan “Sudah kesepakatan. Kontrak. Pacta sun servanda!” Meski demikian, Mad Banu dan sekutunya bisa kita duga mewarisi sifat buruk dari orang tuanya. “Memang begitu orangnya.” “Orangtuanya pun begitu.” “Itulah, kalau daun jatuh tak jauh dari buahnya.” Kata guru-guru lain.

    Mad Banu dan persekutuannya membuat siasat. “Kalau begitu, kami mogok olahraga saja, Pak!” Demikian Mad Banu berkata, mewakili teman-temannya yang tidak punya pilihan lain selain mengekor itu. Semacam mengancam. Tapi kita tahu, bukan model Pak Ali yang bisa diintervensi. Bola tetap bulat, offside tetap dihitung pelanggaran. “Kesepakatan tetap kesepakatan!” Kata Pak Ali anti-intervensi itu dengan tegas dan setengah mengecam aksi mogok olahraga itu. Lalu bilang “Baik! Sila! Kalian duduk di kelas saja!”

    Murid perempuan bersorak. “Hore!” serempak mereka katakan itu. Tentu ini sebuah kabar gembira. Sebuah kemenangan yang nyata. Sebab tidak ada persekutuan lelaki yang bakal mengganggu quality time mereka. Kasti bagi mereka serupa bola kaki bagi laki-laki. Hanya penelitian belum sempat menanyakan siapakah pemain kasti yang paling mereka gemari di penjuru bumi Tuhan ini? Agaknya ini perlu menjadi catatan bagi Menristekdiksti lantaran luput mendeteksi gejala dini; perempuan dan kasti di kampung Mad Banu itu.

   Setelah bersorak seperti sorakan aktivis gender tatkala diakuinya hak perempuan di parlemen. Mereka bermain kasti sepuas hati tanpa ada gangguan atau intervensi dari lelaki yang bersekutu di bawah bendera otoritariannya Mad Banu.

    Mad Banu yang otoriter, kalau kalah sukanya rusuh. Maka dia buat semacam aksi yang berpotensi besar mengundang kepala sekolah masuk dalam kelas itu. Setelah lima belas kali suara bangku jatuh. Tiada lain, besar dugaan itu akibat diperkuda. “Menjadikan bangku seperti kuda goyang, Itu tindakan melawan hukum. Anarkistis!” Itu maklumat kepala sekolah untuk siswa kelas enam. Lantaran mereka sebagai senior, merasa bisa sesukanya. Bahkan hampir menjadi tradisi yang tidak baik, kalau sudah kelas enam, sebisa mungkin bangkunya kelak tidak bisa dipakai lagi. Singkat kata, kacaulah kelas itu.

    Bukan Pak Ali kalau kehabisan cara. Meninju murid? Oh, tidak. Ia sudah meratifikasi konvensi anti kekerasan terhadap anak. Ia tidak bakal pernah mau. Bahkan sekadar memukul kecil saja, ia akan merasa sangat bersalah. Ia adalah tipe guru yang berprinsip. Konsekuen, bahasa lainnya. Pak Ali mencoba mengalihkan perhatian Mad Banu dan sekutunya.

    Sudah pula diketahui, baik di lingkungan sekolah, maupun di lingkungan kampung. Pak Ali adalah jenis guru yang paling multitalenta. Ia tidak bakal pernah canggung ketika mengobrol di warung kopi mengenai harga jagung, minyak nilam, termasuk juga trik dan doa yang digunakan Mike Tyson sebelum menumbangkan lawannya. Sehingga menghadapi Mad Banu dan sekutunya yang bandel itu, bukan hanya perkara kecil, tapi sangat kecil.

    Ia berbisik pada Mad Banu. Tidak ada yang tahu apa. Ketika ditanyakan pada Mad Banu, ia bilang “Ini rahasia saya dan Pak Ali”. Lalu dikumpulkannya teman-teman pesekutuannya. Ia buat semacam maklumat “Pak Ali akan bercerita tentang Maradona!” Mulanya tidak ada yang bersorak. Tapi setelah alis Mad Banu digerakkannya dua kali. Semua anggota persekutuan bersorak. Horee!

    Pak Ali memang serupa koran olahraga bagi masyarakat kampung yang gemar dengan, baik tinju, bola kaki, bulu tangkis, renang dan lain sebagainya itu. Termasuk sepak bolah gajah. Segala hal tentang olahraga, di kampung itu bisa kita bilang dialah tempat bertanya.

    “Bertanya hukum pada majelis adat, bertanya agama pada teungku chik, bertanya bola pada Pak Ali.” Demikian semboyannya.

    “Maradona itu pemain bola paling hebat sepanjang sejarah sepak bola.” Pak Ali membuka cerita. Mad banu dan sekutunya ternganga-nganga. Maradona? Wah! Sungguh ini sebuah pengetahuan yang bakal membuat orang dengan bangga bahwa mereka pernah sekolah.

    “Kalian tentu tidak bakal pernah tahu, kalau tidak saya ceritakan. Ini rahasia FIFA! Maradona itu diberi julukan gol ‘Tangan Tuhan’...” Pak Ali dengan hati-hati dan sedikit tampak ragu-ragu ketika menyebut “Tangan Tuhan”. Sebab kampung ini adalah kampung yang religius. Bukan hanya dalam jiwa masyarakatnya. Melainkan juga gerbang kampungnya “Selamat datang di Kampung Religi”. Pak Ali meski tahu banyak tentang bola dan segala hal tentang olahraga. Wah! Jangan coba-coba salah ucap tentang agama.

    Cepat-cepat Pak Ali membereskan apa yang baru saja dia ucapkan. “Entahlah. Entah siapa yang menjuluki seperti itu. Nah, itulah kalian jangan sesekali ingin bolos ngaji di TPA, ya? Jangan sesekali! Jiwa kita harus bersih dari segala macam kesyirikan. Baik ucap, apalagi laku! Kalau kita main bola, jangan sesekali ria”.

           “Iya, Pak Guru!”

    “Haa, kau Banu. Kalau mencetak gol, jangan sesekali berselebrasi berlebihan. Itu akan mengurangi pahala golmu! Ada kau dengar?”

            “Baik, Pak Guru!”

    Pak Ali rupanya selain jago olahraga pandai pula olah jiwa. Ini yang agak sulit kita mengatakannya, yaitu pandai juga membual. Waduh. Ini yang agaknya pantang diketahui murid-murid, apa lagi Mad Banu.

    Lonceng berbunyi. Cerita yang disembunyikan FIFA tentang Maradona versi Pak Ali pun tamat. Mad banu dan sekutunya sesengukan. Menangis.

    “Apa yang paling menyedihkan dari pada kematian. Yang pasti. Kita akan kembali” Kata Mad Banu mengulangi apa yang tadi dibisikkan Pak Ali padanya.

   Para murid perempuan masuk ke dalam kelas. Betapa terkejut mereka melihat Mad Banu dan sekutunya menangis. Cepat-cepat laki-laki itu mengusap air mata dengan tas dan kertas buku. Seorang murid perempuan berbisik pada temannya “Dalam tubuh yang kekar terdapat jiwa yang cengeng”.

     Wah! Jelas itu bukan arti dari “mens sana in corpero sano” sebagaimana tagline mata pelajaran Panjaskes-nya Pak Ali.

Banda Aceh, 27 November 2020.

*Yi Lawe, penulis bergabung di komunitas literasi, GSB (Gerakan Surah Buku). Menerbitkan dua buku antologi puisi, LALU (2017) dan ZING’: Yang Kukira Puisi Kau Kira Bukan (2019).



Posting Komentar

0 Komentar