Di pagi yang cerah dan dingin, ditemani awan-awan yang mulai turun menyelimuti pegunungan, bocah-bocah yang tertidur setengah sadar menikmati sejuknya suasana subuh ini, dengan ditemani penghangat dari api unggun yang mulai memadam. Pop, terbangun disebabkan suara burung yang hinggap di cabang pohon, tepat di atas gubuk sederhana yang kami buat untuk berteduh tadi malam. Memang, si Pop tidak boleh diganggu sedikitpun saat ia tidur, dia selalu terkejut walaupun itu hanya ranting pohon yang jatuh dari batangnya. Seperti kejadian tadi malam, adalah kejadian yang lucu bagi kami. Pop adalah orang yang tidurnya itu sangat cepat, mau bagaimanapun situasinya kalau memang itu sudah nyaman, Pop langsung tertidur pulas.
Yon dan Opet dapat tugas sore itu, setelah gubuk kami selesai
dikerjakan, mereka mencari kayu bakar untuk kebutuhan kami memasak tadi malam
dan sisanya itu buat penghangat badan kami ketika istirahat nantinya. Tapi hari
mulai gelap, mereka belum pulang juga ke gubuk yang kami buat. Dengan rasa
gelisahnya Aku mulai kesal dengan Pop, karena tidak menghiraukan temannya
yang tak pulang-pulang sejak tadi. Pop melihatku yang gelisah berjalan kesana
dan kemari sambil melihat-lihat ke tengah hutan. Dengan santainya Pop bicara.
“Udah, santai aja, Yon kan pawang hewan.” Dia berbicara
sambil tiduran dan menghisap rokoknya.
“Jangan santai-santai,
ini hutan broo! Kita sedang di tengah hutan ini!.” Jawabku dengan nada panik. Langsung disahut dengan nada
malas Pop,
“Kalau ada apa-apa, kan mereka udah teriak-teriak minta
tolong.” Sembari menghembuskan asap rokoknya ke atas. “Kau nyalakan api saja, gak usah berpikir yang tidak-tidak!
Nanti kalau mereka udah pulang, kita gak
capek nunggu mereka untuk menyalakan api lagi.”
Aku menatap Pop dengan mata bengis, lalu turun dari pohon
dan langsung bergegas untuk menghidupkan api dari kayu-kayu kecil yang ada di sekitaran
gubuk. Api menyala dan aku melihat Pop yang sudah tertidur pulas, aku langsung
bergegas untuk pergi mencari bocah yang tidak pulang-pulang itu. Karena rasa
kesal, Aku mengendap-endap pergi meninggalkan Pop, sambil memegang senter yang sengaja
tidak kunyalakan di tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang sandal, agar tidak ketahuan.
Dengan napasku yang mulai terengah-engah, Aku bersandar
di batang pohon untuk beristirahat sejenak, sembari menyenter situasi di
sekitarku. Aku pun melihat cahaya senter yang tak jauh dari pandanganku, dan
mulai terdengar suara yang tak asing yang sambil ketawa-ketiwi. Aku langsung
menghampiri sumber cahaya dan suara itu, lalu memanggilnya untuk memastikan bahwa
itu Opet dan Yon.
“Pet ... Yon ... Woy!”
Mereka langsung menjawab.
“Woy! Sini! Bantu kami!”
Tiba-tiba lelah yang kurasakan hilang seketika, dan
langsung lari menghampiri mereka. Dengan napas yang masih terengah-engah, aku
langsung bertanya.
“Kebun punya siapa ini?”
Opet langsung meletakkan telunjuknya di bibir, dan
menambahkan.
“Udah jangan berisik, kebun kita ini!”
Aku langsung paham dan tersenyum-senyum sendiri.
Dengan semangat, kami mengumpulkan buah hasil petikan mereka,
di kantong yang mereka bawa. Yon turun dari pohon jeruk dan langsung ke
mengajak kami balik ke gubuk,
“Ayo! Kumpulin cepat!” Ujar Yon dengan napas yang
terengah-engah. “Ayo! Cepat balik!” Tambahnya sambil
mengumpulkan jeruk yang masih bertebaran di sela-sela semak.
Sambil tertawa, kami bergegas pulang, sembari memastikan ke
sekeliling kami bahwa tidak ada jeruk yang tersisa.
Di perjalanan, Opet bercerita kepadaku “Kau tahu? Kenapa tadi sore kami lama sekali? Ya, gara-gara
ini!” Sambil menunjuk ke kantong yang
berisikan jeruk. Opet terkekeh-kekeh.
“Tukang kebun itu memang Nauzubillah sifatnya.” Sambar Yon dengan rasa kesalnya kepada pemilik
kebun jeruk itu.
“Orang-orang seperti itu memang pantas kita perlakukan
seperti ini.” Sahut Opet sambil membawa kayu di punggungnya.
Dalam perjalanan menuju gubuk, kami bercerita banyak hal
tentang kejadian tadi sore. Saat perjalanan hampir tiba menuju gubuk, aku melihat
cahaya api yang sempat kunyalakan tadi, sedikit demi sedikit mulai padam, dan
aku memberi tahu mereka.
“Sepertinya Pop masih tertidur ini.”
Dengan akal liciknya, Yon langsung memberi ide kepada
kami untuk menjahili Pop dengan membuatnya terkejut dan takut.
“Sudah, kau pegang ini!” Ujar Yon dan mengeluarkan kayu
bakar dari karung bawaannya kepada Opet.
Opet meletakkan tas jeruknya di atas tanah dan memeluk kayu
bakar yang diberikan oleh Yon. Yon langsung berjalan mengendap-endap sambil menunduk,
membawa karung kosong dan sebatang kayu yang dia ambil dari tumpukan kayu bakar.
Ia mengambil langkah kecil dengan hati-hati agar Pop tidak langsung terbangun
dari tidurnya.
“Duarrrrrrrrrr!!!” Suara ledakan. Suara yang dihasilkan dari karung yang dipukul oleh Yon menggunakan
kayu yang dia bawa.
Pop terbangun, terkejut lalu berlari. Dengan tak sadarnya,
dia merusak dinding gubuk menggunakan tangannya. Sembari mengoceh.
“Gila kalian?! Gak lucu
tau.” Ujar Pop sambil mengambil ranting
pohon yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah Yon.
Yon berlari dan
tertawa sambil menjawab ocehan Pop.
“ho ... ho ... ho ... Pop. Ini aku! Ini aku.”
Aku
dan Opet ikut tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai jeruk dan kayu bakar yang
dipegang oleh Opet tumpah dan
menggelinding kemana-mana. Saking lucunya. Pop
geram dengan ulah Yon. Dia mencerca Yon dengan kata-kata yang tak suci yang
keluar dari mulutnya yang bau tinja babi.
“Kelamin Pria, kau!” Umpat
Pop kepada Yon. “Kau lihat ulahmu ini!” Sambung Pop sambil menunjuk gubuk yang
nyaris roboh.
Melihat gubuk yang telah rusak, kami bergegas memperbaikinya.
Pop dengan kesal langsung menyalakan api, Aku dan Yon sibuk memperbaiki gubuk.
Sementara Opet menghampiri Pop yang sibuk menyalakan api dan menyiapkan alat merebus
mie instan untuk makan malam kami.
Setelah semuanya matang, gubuk pun selesai kami perbaiki.
Yon menyiapkan wadah dari daun pisang yang digunakan untuk kami makan.
Sementara Pop menuangkan mie ke atas permukaan daun pisang itu. Kami berempat
melahap mie instan tersebut sambil bercerita ria tentang kelucuan tadi sore
yang dialami oleh Yon dan Opet.
Kami berempat kekenyangan mie instan dan cerita. Aku
berdiri dan mengangkat daun pisang bekas kami makan, lalu membuanganya. Dan kami pun
langsung menuju gubuk untuk beristirahat.
Karena terasa lelah, kami pun langsung merebahkan tubuh
kami satu persatu di tempat yang seadanya, di gubuk ini. Kuceritakan sedikit tentang gubuk itu. Dinding gubuk itu terbuat dari
ranting pohon yang masih lebat dedaunannya, atapnya ditutupi dengan daun pisang, sementara alasnya terbuat dari semak-semak. Begitulah ceritanya …
Bersambung …
0 Komentar