“Ketika aku berada di kapal milik Bangsa Eropa. Di sana terdapat kelasi dari berbagai bangsa, entah darimana mereka mengangkut orang-orang itu. Yang aku ingat dan lengket dalam kepalaku, aku nekat ingin bergabung menjadi awak kapal saat mereka berlabuh di pelabuhan kita. Syukurnya saat berada di tengah lautan, mereka tak berbuat jahat kepadaku.”
“Apa yang membuatmu berhenti melaut, Jabah?”
“Karena gadis disini.”
“Hanya karena itu? Kelaminmu membatu atau bagaimana?”
“Bukan, hasratku tak lagi kesana, bukan karena
kelamin, kurasa aku hanya perlu beristirahat dan membentuk awak kapal seperti Bangsa
Eropa lakukan.”
Lembar daun pisang muda yang membaluti timphan bikinan Mak Nanta Setia dibuang
Jabah ke pinggiran sungai. Sementara Hisyam yang masih berumur sekitar 15 tahun
masih penasaran dengan cerita laut dari Jabah sambil mengupas kulit pinang
busuk. Terdengar suara biji pinang
meluncur ke tengah sungai. Dilempar Hisyam.
“Lalu, apa yang menarik setelah kau berlayar dengan Kaphe
itu? Tanya Hisyam.
“Jaga mulutmu, Syam! Mereka itu orang-orang
terpelajar, Nahkoda kapalku tak pernah melarang aku sembayang di kapal.”
“Kaphe tetaplah Kaphe. Mereka mana tahu
rasa sakit saat dikhitan. Memangnya di ruang seperti apa kau dipersilahkan
sembahyang?”
“Di dekat tempat penyimpanan makanan, semacam gudang,
tapi tak kukira gudang. Tempatnya kubersihkan sendiri tiap hari. “
“Mak Nanta Setia memang benar, bagaimanapun mereka tetaplah
kaphe. Kalau memang mereka terpelajar, kenapa mereka tidak menyediakan
tempat sembahyang yang layak bagimu?”
“Mereka telah menyiapkan makanan untuk kami, tak
kurang sedikitpun, tak telat sedikitpun, mereka kaya dan bijaksana, mereka mengatur
semuanya dengan baik. Mana sempat mereka mengurusi urusan pribadi kita, apa
perlu mereka juga yang menulis surat dan mengirimkan suratku kepada kalian. Itu
akan membuang-buang waktu dan semuanya akan berantakan kalau mereka sempat
mengurusi itu.” Jabah menatap Hisyam dengan ekor mata dan memalingkan wajahnya
ke permukaan sungai.
“Sebentar, aku belum menjawab pertanyaanmu.” Sambung
Jabah.
“Baiklah, bagaimana lanjutannya? Peu nyang mangat meulaot
dipeungon le kaphe nyan?”
“Timphan bikinan Mak Nanta Setia enak juga ya.” Jabah
mengambil timphan yang tersusun di dalam tampo berukuran kecil, seukuran
pingan, dianyam dengan rotan, permukaannya beralas daun pisang tua.
Timphannya tersisa dua buah. Sambil mengunyah Jabah bertanya. “Kau pernah
mendengar tentang harta karun?”.
“Teungku pernah cerita tentang cincin Nabi
Sulaiman yang dicuri oleh jin dan dibawa ke laut. Dan sekarang menjadi barang
yang diincar oleh banyak orang. Begitukah yang orang maksud harta karun?”
“Nyoe, tapi ini lebih banyak dari satu cincin. Para
kelasi sering membicarakan peti harta karun. Harganya bisa membeli dua kapal
besar yang muat ratusan awak kapal. Aku kenal Dio, di berasal dari Amerika,
bangsa yang memiliki peradaban maju layaknya Bangsa Eropa.”
“Ia sangat bergairah tentang harta karun dan hal-hal
gaib di lautan.” Sambung Jabah. “Ia juga orang yang menyenangkan. Sesekali ia
bernyanyi dalam bahasanya, ya walaupun suaranya sumbang, tapi ia tahu betul
kapan harus menghibur kelasi-kelasi lainnya. Kadang ia bercerita, entah itu
dongeng atau pengalaman pribadinya, tapi itu menyenangkan.”
“Apa yang membawanya berlayar sepertimu?” Tanya
Hisyam.
“Aku juga kurang tahu, tapi aku sering mendengar ia
mengeluh tentang orang-orang di kampungnya.”
“Apa juga katamu tempatnya berperadaban maju.
Sepertinya kau masih mabuk laut, selain berkelamin batu kau juga orang yang
suka peugah haba lumpoe.” Sambar Hisyam.
Suara gemuruh halilintar menggelegar dari hulu sungai.
Langit mulai menghitam, gerimis menghujani kepala mereka, juga menitikkan
butiran-butiran airnya ke permukaan sungai. Mereka berdua beranjak ke jamboe
dekat teupin sungai. Jabah bergegas memeluk Timphan dengan tangannya,
sementara Hisyam berlari berjinjit kaki ke arah jamboe itu. Jamboe
itu kelihatan bersih, karena tiap malam dipakai untuk mengaji, kecuali malam
jumat. Jadi mereka tak perlu repot-repot menyapu debu di lantainya.
“Sepertinya kita akan pulang telat, kau sudah dengar
azan ashar?” Tanya Hisyam sambil menyiapkan tempat duduknya di sisi jamboe.
“Belum, kelihatannya saja seperti hampir magrib,
awannya sangat tebal. Kita baru saja shalat zuhur beberapa saat yang lalu,
kan?”
“Iya, gelap sekali nampaknya.”
Jabah duduk di samping Hisyam dan meletakkan timphan
di antara mereka berdua.
“Cerita apa lagi yang disampaikan Dio?” Tanya Hisyam.
“Oh iya, Dio pernah sekali berteriak tentang gurita
besar yang akan melilit kapal. Setelah diperiksa oleh kelasi lainnya ternyata
tak ada gurita yang dimaksud oleh Dio. Kelasi-kelasi lainnya kadang merasa
jengkel dengan aksi Dio yang seperti itu, di satu sisi mereka malah senang
dengannya.”
“Orang yang konyol, kalau ada gurita sebesar itu pasti
enak dibikin asinan.”
“Kau berbicara seolah gampang sekali menangkap gurita
besar itu.”
“Kalian saja yang tak mengerti cara menangkapnya,
konyol sekali.”
“Kau pikir gampang?!” Sambar Jabah, juga diikuti suara
sambaran petir yang mengoyak dinding langit dan membuat mereka berdua terdiam
sejenak sambil menundukkan kepala mereka secara spontan. Sejenak mereka tak
mengeluarkan sepatah katapun, seolah diberi peringatan untuk beristirahat dari
perdebatan.
Sambil menghela napas panjang, Jabah mengambil
sepotong timphan dan menawarkan yang satunya ke Hisyam. “Ambil untukmu yang
satunya lagi.”
“Baiklah, aku akan memakannya kalau kau melanjutkan
cerita tentang Dio.”
Jabah menatap Hisyam dengan tajam, sedikit kesal,
berhenti mengunyah dan berkata dalam hati bahwa berani-beraninya anak ini
seenaknya seperti itu. Apa hubungannya timphan dengan melanjutkan cerita,
sangat menjengkelkan. Jabah menarik nafas dalam-dalam, dan menghelanya, untuk
menenangkan diri tentu saja.
“Dio pernah melukis sosok gadis, telanjang dada,
rambut terurai dengan jepitan rambut dari kerang, bertubuh montok, namun
kakinya bersisik dan berbentuk sirip ikan. Awalnya kukira dia melukis gadis
yang ia idam-idamkan. Aku tak memperhatikan dengan jelas, apa itu ikan atau
semacamnya. Tapi di antara semua makhluk laut yang ia takuti daripada gurita
besar, ia sangat takut jika kapal kami berhadapan dengan gadis bersirip itu.”
Sambil membuang kulit timphan, Jabah mengunyah dan melanjutkan. “Mereka
menyebutnya Putri Duyung.”
“Seperti lumba-lumba?” Tanya Hisyam penasaran.
“Lebih licin dan mulus dari itu.”
“Kenapa kalian begitu takut dengan makhluk semacam
itu?”
“Konon, aku dengar-dengar dari cerita para kelasi,
makhluk itu sangatlah berbahaya. Lebih berbahaya dari kawanan hiu. Dan lebih
menyeramkan daripada amukan gurita yang diteriaki oleh Dio.”
“Kok bisa?” Celetuk Hisyam sambil mengunyah timphan.
“Aku mendengar berbagai sumber cerita dari para
kelasi, menurut kisah dari kampung mereka masing. Aku saja baru tahu keberadaan
makhluk itu ketika aku melaut bersama mereka.”
“Walaupun nenek moyang kita juga pelaut, tapi aku sama
sekali tak pernah mendengar tentang makhluk seperti Putri Duyung.”
“Seorang kelasi dari Cina yang aku kenal menceritakan
air mata Putri Duyung dapat berubah menjadi permata. Sedangkan menurut orang Daratan
Utara, Putri Duyung adalah jelmaan para gadis yang dibunuh lalu gentayangan dan
mengganggu pembunuhnya.” Sambung Jabah.
“Benar, Teungku pun tak pernah menceritakan hal
bandot seperti itu kepada kami.” Jawab Hisyam.
“Menurut Dio, jika kau melihat Putri Duyung sisi
kapal, jangan mendekat. Seekor Putri Duyung dapat bernyanyi dengan sangat merdu
hingga dapat membawamu seolah terbang tak sadarkan diri. Makhluk itu akan memegang
pipimu dengan halus dan gemulai, menarikmu ke dalam lautan, lalu menerkam
wajahmu hingga koyak. Dio sering menyanyikan nyanyian Putri Duyung berulang
kali hingga aku hafal, tentu saja dengan suara sumbang.”
Hatiku tertusuk oleh Malaikat Cinta
Aku meremehkan semua emas yang berkilauan
Tidak ada yang bisa menghibur diriku
Tapi kelasiku yang periang
Datanglah semua para pelayan cantik
Siapapun Kamu
Yang suka pelaut periang dan berani
Membajak laut yang mengamuk …
“Hingga pada penggalan lirik itu, ia selalu berhenti
bernyanyi dan merinding sambil membayangkan wujud Putri Duyung.”
Hujan kian reda, disambung dengan gerimis, tetapi
langit masih saja terlihat gelap. Sementara angin sayup-menyayup menerpa kulit
Hisyam dan Jabah. Mereka menahan hawa dingin, seperti laki-laki pada umumnya.
Hisyam termenung membayangkan wujud Putri Duyung yang diceritakan Jabah.
“Aku masih menganggap kalau Putri Duyung masih kalah
menyeramkan daripada makhluk di dalam sungai yang sering diceritakan Mak Nanta
Setia.”
“Apa maksudmu buaya?”
“Bukan, hampir mirip seperti terkaman buaya. Memangnya
kau belum pernah dengar cerita Balum Bili?”
“Sering diceritakan saat aku masih seumuranmu, tapi
makhluk itu tidak nyata. Kau percaya?” sahut Jabah.
“Tapi Balum Bili telah menelan anak-anak di kampung
sini, mereka semua ditemukan dengan kondisi perut gembung dan kulit pucat.
Perlu berapa mayat lagi untuk membuktikan bahwa makhluk itu nyata adanya.”
Sambil menatap ke arah sungai yang sedang dijatuhi butiran-butiran air, Hisyam
membenarkan posisi duduknya.
Terdengar suara seorang ibu-ibu berteriak di bibir
sungai, memohon pertolongan. Hisyam dan Jabah turun dari jamboe dengan
tergesa-gesa dan mendekati sumber suara meski rintik hujan mengguyur kepala
mereka. Dari sumber suara itu, kerumunan orang telah memadati bibir sungai,
melingkari seseorang yang sedang terbaring, pucat dan matanya melotot. Suara
azan berkumandang. Seorang anak kecil ditemukan tewas tenggelam. Hisyam tanpa babibu
berkata kepada Jabah.
“Kau lihat?”
0 Komentar