Revolusi yang Mencari Ibu di Jalan Raya



Oleh: Yi Lawe

Revolusi industri 4.0 menggelinding seperti bola derik yang dimain-mainkan anak kucing, akankah berhenti bahkan sebelum membentur tembok yang mapan, ataukah terus menggelinding sampai akhirnya harus membentur tembok yang diciptanya sendiri? Karena, menurut pendengaranku—yang mungkin sudah sedikit budek ini—segala hal yang baru bakal mapan pada waktunya.

Bola derik itu, atau revolusi itu, dalam kepalaku tergambar seperti sebuah bola kecil dengan ukiran kerawang berupa sudut patah-patah, warnanya mencolok, tapi bahannya rapuh. Lalu ada beberapa tarikan garis yang sepertinya sangat individualis. Atau, garis yang terhubung kaku, mungkin oleh seorang mufassir semiotiken ditafsir sebagai semangat zaman yang ditandai oleh sebuah kontrak kaku.

Bola itu berguling-guling, menggelinding lalu menghasilkan suara gemerincing seperti gelang di kaki bayi. Dengan cara purba, kita bisa mengetahui kalau seorang tetangga memiliki bayi dengan; selain tangisan, ya dengan suara gelang kaki. Seperti itulah kita menandai zaman ini. Zaman baru itu telah datang.

Para ahli mulai angkat bicara. Kita menyaksikannya melalui gawai. Gawai menjadi semakin ramai. Segala platform media sosial seperti sedang melangsungkan tepuk tangan, nyaris tiada henti. Kekdahnya (red-kaedah), ini memang keluarbiasaan yang luar biasa. Tentu kita boleh menebak-nebak. Barangkali, di bagian belakang, mungkin pula di tengah-tengah hadirin itu, beberapa orang bertepuk tangan dengan cara tidak mengenakkan, mengingat bayangan keruntuhan bisnis konvensionalnya. Sebagian memang  memilih menyunggingkan bibir. Memang tidak percaya sama sekali akan revolusi ini benar-benar membawa hasil. Lalu, sebagiannya lagi menatap cemas, mata nanar berkaca-kaca masih tetap ada.

Dalam sebuah pertemuan sekte, para ahli dalam teknologi mulai memikirkan bagaimana seekor landak bisa ditangkap hanya dengan satu sentuhan dari jarak jauh, tidak kurang dari lima ribu mil. Sekte-sekte di masa depan tumbuh dengan corak yang tidak tertebak, dengan pola yang sama sekali asing dalam sekte agama. Kongres sekte-sekte yang lahir dari semagat revolusi industri itu mulai mengendus-ngendus, mereka sedang memikirkan tentang bagaimana cara hologram batang pisang, sebisa mungkin, mampu menimpa duri-duri landak yang tajam guna menangkapnya.

Konon, di masa depan itu, tidak benar-benar mampu memusnahkah kaum-kaum yang dianggap konservatif, malah simbol-simbol konservatif itu dialih-gambarkan dengan kemajuan teknologi. Lihat saja misalnya, kemampuan teknologi telah menggiring kita untuk tunduk pada upaya mengamini bentuk-bentuk telur dinasaurus, kuku-kuku dan gigi T-Rex, padahal dulu kita percaya itu adalah kontruksi imaji mereka saja.

Pun, jika ada yang melemparkan api tudingan kepada mereka, kalau-kalau mereka ingin merusak tradisi. Kecepatan komputasi algoritma akan membantah tudingan itu. Malah merekalah yang telah berhasil menjaga tradisi moyang, seperti; menangkap landak mengunakan perangkap pohon pisang.

Revolusi ini, tidak ubahnya apam yang baru saja diangkat dari wajan, masih hangat-hangatnya. Istana, yang kukira tidak makan apam, malah berbicara tentang pentingnya menyambut apam ini. Pun ahli nujum, tidak pula tinggal diam, turut pula meramalkan apa yang bakal terjadi pada paruh abad ini.

Media-media konvensional semacam surat kabar, majalah, radio dan televisi turut pula menyerbarkan, seperti tidak peduli akan kerhancuran diri mereka sendiri. Kemungkinannya, mereka sudah cukup punya dana untuk membeli wajan baru ini. Revolusi ini, sepertinya, menjadi hal yang tidak terlalu berat untuk mereka beli. Revolusi paling klasik sekalipun, kurasa tidak mungkin mengubah semuanya. Pemain lama tetap saja ada, dan memang harus tetap ada, barangkali. Seperti juru sapu taman dan juru pangkas rumput, oleh revolusi paling purba, sepertinya lupa diganti.

Bahkan, revolusi kali ini sepertinya berjalan dengan apa yang sering kita dengar sebagai “main cantik”, diam-diam revolusi itu bergulir, nyaris, bahkan, sepertinya memang tanpa teriakan "viva la revolucion!" yang diucapkan teman kita yang baru pulang dari Jerman dengan nada sengau.

Dua tahun yang lalu, seingatku kumandang revolusi belum semarak sekarang. Waktu itu aku sedang membaca kumpulan essai Kuntowijoyo. Ada satu kalimat yang kuingat, meski tidak persis, tapi kira-kira seperti ini “Kita tentu tidak ingin revolusi yang berdarah-darah, pun juga tidak bisa menunggu proses evolusi yang terlalu lamban, maka kita harus mengarah pada revolusi yang diperlambat atau evolusi yang dipercepat”. Lalu, apakah revolusi sekarang ini adalah perwujudan dari ramalan itu, kita bisa menebak, meski kita tidak tahu sepenuhnya.

Gelombang revolusi ditandai dengan lampu-lampu yang menempel pada pakaian penari. Oleh gelombang itu pula, kata “tari” itu sendiri sepertinya menjadi tersingkir sebagai kata yang kolot sehingga harus menyerap bahasa impor yang lebih mordern—jika kata “modern” itu sendiri masih tidak kolot—yaitu, dance.

Para juru khutbah mulai mengucapkan kata-kata itu. Ada yang mengucapkannya dengan biasa saja, di samping ada pula yang mengucapkannya dengan cara khatib di kampung kita mengucapkan kata modern untuk pertama kalinya; rasanya seperti ragu-ragu, tapi harus diucapkan.

Pula hubungan revolusi dengan ahli nujum, seperti mana kita singgung. Pula ahli futuristik, ahli kimia, ahli gigi dan ahli sumur. Singkatnya, kita hanya ingin katakan, bahwa “Revolusi 4.0” menjadi sebuah ucapan yang kegunaannya tidak ubahnya micin dalam masakan. Eh, seperti seorang politikus muda yang kerap menggunakan istilah-istilah dalam ilmu sosial yang baru ia temukan dalam sepenggal opini di koran pagi.

Juga saya, sejenis manusia dengan segala keluntang-lantungannya, mengulang kata-kata itu, bisalah kita sebut sebagai salah satu partikel kecil yang turut mempopulerkannya, meski ketika ditanya tentang revolusi itu sendiri, saya seperti seorang tawanan perang yang menggangkat tangan di depan revolver kecil.

Benar, tidak mungkin, setidaknya sulit kita tolak, revolusi 4.0 ini datang menghampiri kita, dan besar kemungkinan akan merubah segala pertanyaan kita. Kita, sepertinya, diarahkan pada pertanyaan yang futuristik yang sedikit aneh. Mungkin, semacam pintu kamar mandi yang bisa mendeteksi perut kita yang sedang mules, lalu terbuka dengan cara otomatis. Tapi, di samping hal yang bergitu rupa, di kepala kita tidak benar-benar lepas dari pertanyaan dasar. “Adakah ibu di jalan raya?” Dan, pertanyaan itulah yang kita suguhkan pada kecerdasan artifisial, pada matematika algoritmik. Pasalnya, pertanyaan serupa tidak pernah benar-benar mampu terjawab oleh zaman, segala zaman meresahkan hal itu. Mudahnya, kita sebut saja, apakah kasih sayang bisa dijawab dengan komputasi?

Para ahli, tentu tidak tinggal pula ahli nujum, berbeda pendapat, perdebatan mereka sepertinya sengit. Sebagian dengan kokoh mempertahankan, bahwa dengan kecerdasan akal manusia, robot bisa diutak-atik sehingga mampu merasa. Kabarnya di masa depan robot-robot selain memiliki otak juga memiliki naluri, hasrat, perasaan dan tidak aneh pada saat itu kelak pemuka agama menikahkan dua pasang robot. Atau sebaliknya, robot yang menikahkan pemuka agama. Bukan tanpa alasan, sebutlah paradigma keilmuan kita yang terlalu lembek menghadapi realitas, sehingga kebenaran agama harus sujud pada kebenaran realitas. Dalil-dalil empirik, sains, melaju dengan begitu congkaknya.

Kita mungkin tertawa geli melihat laju zaman yang didominasi oleh imaji kekanak-kanakan ini. Kurasa, kemampuan menikahkan robot tidak jauh beda seperti mana imaji anak-anak yang menyandingkan dua batu sungai di atas tempurung. Tapi, pertanyaan kita masih belum memiliki jawaban. “Adakah ibu di jalan raya?”[]




Posting Komentar

0 Komentar