Oleh: H.kapitan
“merrdeka....merrrdeka....merrrdeka”
Tujuh puluh empat tahun sudah negara ini berdiri, melepaskan diri dari
belenggu penjajahan bangsa asing. Banyak hal yang telah terjadi dalam
perjalanan dari awal berdiri hingga saat ini. Tidak ada yang geratis. Keringat,
darah, dan nyawa menjadi bayaranya. Kudeta terhadap presiden soekarno,
Pembantaian masal di tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok yang kental konspirasi
tahun 1984, peristiwa ninja berdarah di Jawa Timur pada tahun 1998, kerusuhan
Mei 1998, penculikan terhadap aktivis yang menyuarakan kebenaran, pembunuhan
Munir, dan masih banyak peristiwa-peristiwa lain yang telah terjadi pada masa
lampau. Menggambarkan betapa ngerinya negeri ini, rakyat mengira dengan
melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing hidupnya tidak akan menderita
tetapi nyatanya sama saja. Dan lebih kejinya lagi penjajahan itu dilakukan oleh
sesama bangsa ini. Kemerdekaan hanya milik mereka, yang lain tidak punya hak
untuk itu.
Kemerdekaan Milik Siapa?
Merasakan kemerdekaan seharusnya menjadi hak untuk seluruh rakyat, namun
pada kenyataannya kemerdekaan hanyalah suatu hal yang utopis bagi masyarakat
yang sampai saat ini terus-menerus ditindas. Ditambah lagi keran-keran
kapitalis begitu masifnya dibuka. Poro Duka di pulau Sumba yang harus rela
menerima cekraman peluru polisi ke dadanya demi membela tanah adatnya, Budi
Pego yang harus mendekam di penjara selama sepuluh tahun karena menolak tambang
emas di Banyuwangi namun dituduh menyebarkan komunisme, dua orang petani di
Cianjur divonis selama tujuh belas bulan karena dituduh menyerobot lahan oleh
perusahan perkebunan, bu Patmi salah seorang petani di Pegunungan Kendeng yang
meninggal karena membela haknya yang hendak direbut oleh korporasi semen,
penggusuran dimana-mana dengan dalih pembangunan, dan masih banyak lagi
peristiwa mengayat hati yang terjadi di negeri-negeri ini.
Kemerdekaan ini milik siapa? Apakah milik para koruptor yang penjaranya
seperti hotel berbintang lima? Apakah milik bapak kepala desa yang diberikan
dana desa berlipat-lipat? Apakah milik perusahan-perusahan yang terus melakukan
ekspansi demi mengakumulasi kekayaan? Apakah milik politikus-politukus yang
suka mengumbar janji? Atau mungkin milik orang-orang yang menjual surga dengan
harga murah? Ataukah milik para petani, nelayan, pedagang kaki lima? Ah
entahlah, saya pun kebingungan dengan melihat realitas kehidupan yang terjadi.
Mungkin pembaca yang budiman mempunyai jawaban atas pertanyaan diatas. Cukup
simpan saja jawabanya jangan di umbar-umbar, nanti bisa diciduk oleh......ah
sudahlah.
Sejujurnya jari-jemari ini begitu berat menari di atas abjad untuk menuliskan
sebagian kecil dari banyaknya kekejian yang terjadi. karena saya pribadi
bingung harus mengadu kepada siapa tentang semua yang telah terjadi sehingga
saya memutuskan untuk mengadu kepada selembaran kertas putih. Kepada selembaran
kertas putih saya memohon maaf karena harus mengotorimu dengan kekejian yang
dilakukan oleh mereka yang hatinya telah mati.
Tanah Surga Katanya
Ada sebuah puisi yang dibacakan oleh salman dalam sebuah filim yang saya
kira sangat edukatif, kira-kira begini puisinya
‘’Bukan lautan hanya kolam susu katanya, Tetapi
kata kakeku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu.
Kail dan jala cukup menghidupimu, katanya. Tetapi
ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara.
Tiada badai tiada topan kau temui, katanya. Tetapi
kenapa ayahku tertiup angin ke malasiya.
Ikan dan udang menghampiri dirimu, katanya. Tetapi
kata kakek awas ada udang dibalik batu.
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu
dan batu jadi tanaman. Tapi kata dokter intel tidak semua rakyat kita
sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya
sendiri”
Penulis merupakan anggota komunitas literasi
janasoe
0 Komentar