Disurah
oleh : Arinal
30
Agustus 2019
Nyaris sepanjang sejarah, orang
ingin tahu apakah sebuah perang tertentu adil, mereka bertanya kepada tuhan,
mereka bertanya kepada kitab-kitab suci dan mereka bertanya kepada raja-raja
maupun para pendeta. Sejarah yang ditulis pemenang mereka menggambarkan kisah
heroik. Perang tetaplah perang tidak mesti peperangan itu diikuti oleh para
heroik yang tinggi, prajurit-prajurit biasa, rakyat-rakyak jelata juga mengikuti
dan memenangkan peperangan itu sendiri.
Misalnya
lukisan pertempuran Breitenfeld yang terjadi pada 17 September 1631.
Sang pelukis, Jean-Jacques Walter, mengagumkan Raja Gustav Adolph dari Swedia
yang memimpin perang hari itu meraih kemenangan menentukan. Orang mendapat
kesan bahwa raja mengendalikan pertempuran seperti seorang pemain catur yang
menggerakkan bidak-bidak. Walter tidak tertarik pada bidang pekerjaan yang dikerahkan,
lari, dibunuh atau mati. Mereka adalah sebuah kumpulan tanpa wajah. Muhyi
merespon “saya ingin memberikan satu contoh di saat saya pertama kuliah tentang
hukum peradilan militer orang banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bermaksud
menyerang dosen yang terhormat, lalu dia menjawab “apakah kami ingin pergi ke tempat
perang meninggalkan anak dan istri kami ”itulah sama halnya dengan sisi-sisi
humanis, kita melihat tentara, lawan atau separas itu, sebenarnya bukan hanya
tentang pergi ke medan perang tapi meninggalkan rumah itu jauh lebih mengerikan”.
Ketika para pelukis fokus pada
pertempuran itu sendiri, bukan pada panglimanya, mereka masih melihatnnya dari
atas, dan jauh lebih peduli pada manuver-manuver kolektif ketimbang pada
perasaan-perasaan personal anda bisa mengidentifikasi kesatuan-kesatuan yang
berbeda, persenjataan mereka dan posisi-posisi mereka dalam barisan
pertempuran. Kita kurang memberi perhatian pada pengalaman dan perasaan para tentara
biasa. Dede merespon “yang diperlukan negara itu adalah salah satunya para tentara,
kemudian kenapa sangat herois saya sangat setuju dengan taktik negara-negara di
masa lalu herois itu sangat dibutuhkan untuk menampilkan prajurit atau tentara
itu sebagai sosok yang berpengaruh, karena namanya perang itu menyakitkan. Di zaman
sekarang pada abad ke-21 media semakin keras kepala dengan menampilkan
sisi-sisi menyedihkan seperti muhyi katakan tadi apakah mereka beralih kepada
sosok-sosok herois tadi ataukah beralih ke teknologi ataukah seperti di Korea
yang wajib militer dan intinya tentara itu tetap ada, karena semua orang
semakin hari semakin sadar perang itu tidak ada gunanya tetapi pemerintah
membutuhkannya”.
Anda menyadari bahwa Pertempuran
Gunung Putih agak lebih rumit ketimbang sebuah papan catur. Di sana dan di sini
anda bisa melihat wajah-wajah tentara yang berlari atau melarikan diri,
menembakkan senjata mereka atau menusuk musuh dengan tombak. Jika tentara itu
berperang di pihak Protestan, kematiannya hanya sebuah hukuman atas pemberontakan
dan kesesatan. Jika tentara itu berperang dalam angkatan perang Katolik,
kematiannya adalah pengorbanan terhormat untuk sebuah perjuangan yang bermakna.
Shadikin menanggapi “simbol-simbol herois dalam militer itu membentuk strategi
negara contohnya di Papua, seolah-olah negara itu melihat sesuatu dengan
landasan hitam dan putih siapa yang mengusir negara adalah hitam dan yang
membela negara adalah putih seperti di Papua yang menginginkan kemerdekaan
tetapi media membuat seolah-olah penindasan itu adalah hitam”.
Selama ribuan tahun, ketika orang
melihat perang, mereka melihat para dewa, kaisar, jenderal dan pahlawan besar.
Dalam beberapa pekan perang membuyarkan ilusi-ilusinya satu demi satu. Jika dia
selamat, prajurit yang tadinya naif akan meninggalkan perang sebagai seorang
pria yang bijaksana, yang tidak lagi memercayai klise-klise dan ideal-ideal
yang dijajankan. Haikal menanggapi “menurut saya di paragraf di atas
seakan-akan perpecahan humanisasi yang sangat luar biasa karena dengan adanya
setelah mendalami agama misalnya agama Islam sendiri punya pemahaman yang
beragam dalam arti yang mempraktekkan ibadah bagaimana tingkat kepuasan mereka
untuk melakukan ibadah dengan tuhannya”. Dalam agama Islam Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada perpecahan praktek yang secara luas misalnya praktek dalam Muhammadiyah,
Ahlisunnah wal Jamaah dan sebagainya banyak paham-paham itu sehingga itulah
tingkat dari humanisasi perbedaan-perbedaan, bukan perpecahan dalam arti saling
hujat satu sama lain, tetapi setelah mengalami pengalaman-pengalaman,
penurunan-penurunan dari agama sehingga mereka mendapat inti dari agama atau
perlakuan-perlakuan yang ada sehingga membedakan atau membelokkan perlakuan,
benar atau tidak.
Secara paradoks, narasi ini telah menjadi begitu
berpengaruh sehingga kini dituturkan lagi dan bahkan oleh para guru, pembuat
film, dan politisi yang fasih. “Perang tidaklah seperti yang anda tonton di
bioskop”. Diabadikan dalam seluloida, prosa, atau puisi, ungkapan perasaan-perasaan
orang biasa dalam gerutuan telah menjadi otoritas tertinggi atas perang, yang
setiap orang mulai belajar untuk menghargainya. Muhyi merespon “barangkali
komunisme menantang adanya kelas, dan di dalam Islam itu tidak ada
pengelompokkan yang dilihat hanya taqwa dan keimanan, sedangkan komunis itu
bukanlah agama sehingga mereka tidak memerlukan taqwa dan keimanan tersebut. Misalnya
suatu pembelaan ini adalah pembelaanku, sedangkan menurut agama pembelaanku ini
adalah bekalku di akhirat. Bukannya dia ingin membela pembelaannya hanya semata-mata
keinginannya tetapi atas dasar seruan tuhan. Inilah perbedaan kominisme dengan
agama”. Para pelukis juga kehilangan
minat pada para jenderal di atas punggung kuda dan manuver-manuver taktis.
Mereka lebih suka menggambarkan bagaimana perasaaan tentara biasa. Dix dan Lea
memandang perang sebagai suatu fenomena emosional dan ingin tahu bagaimana
rasanya. Mereka tidak peduli soal kegeniusan para jenderal atau tentang detail
taktik pertempuran. Dalam lukisan Lea, tatapan nanar tentara yang trauma
membuka sebuah jendela kebenaran menyakitkan dari perang. Dalam lukisan Dix,
kebenaran itu begitu tak tertanggungkan sehingga sebagian pasti disembunyikan
di balik masker gas.
Dengan demikian, seniman Dix dan Lea membantu membalik hierarki tradisional perang. Banyak perang dalam masa-masa sebelumnya sudah barang tentu sama mengerikannya dengan perang abad ke-20. Namun, Paus dan kaisar berkata bahwa kita berperang untuk kebaikan, jadi penderitaan saya ada artinya. Otto Dix menggunakan jenis logika yang berseberangan. Dia melihat pengalaman personal sebagai sumber segala makna sehingga alur berpikirannya menjadi “Saya menderita—dan ini buruk—karena itu seluruh perang adalah buruk. Jika kaisar dan kependetaan tetap mendukung perang ini, mereka pasti kalah”.
Dengan demikian, seniman Dix dan Lea membantu membalik hierarki tradisional perang. Banyak perang dalam masa-masa sebelumnya sudah barang tentu sama mengerikannya dengan perang abad ke-20. Namun, Paus dan kaisar berkata bahwa kita berperang untuk kebaikan, jadi penderitaan saya ada artinya. Otto Dix menggunakan jenis logika yang berseberangan. Dia melihat pengalaman personal sebagai sumber segala makna sehingga alur berpikirannya menjadi “Saya menderita—dan ini buruk—karena itu seluruh perang adalah buruk. Jika kaisar dan kependetaan tetap mendukung perang ini, mereka pasti kalah”.
0 Komentar