Homo Deus : Humanisme dalam Lima Gambar & Ikuti Jalan Bata Kuning






HUMANISME DALAM LIMA GAMBAR



Disurah oleh M. Arinal
22 Agustus 2019

       Politik humanis: pemilihlah yang tahu.

              Ekonomi humanis: pelanggar selalu benar.










Etika humanis: jika terasa baik—lakukanlah!


Estetika humanis: keindahan ada di mata penonton.


                Pendidikan humanis: berpikirlah untuk diri Anda sendiri!










































*Gambar dalam foto ini tidak mencerminkan sikap penerjemah/penerbit. pemuatannya semata-mata dalam rangka penyajian pemuatan utuh karya pengarang. --penerj


****


IKUTI JALAN BATA KUNING

Sebagaimana sumber lain otoritas mana pun, perasaan juga memiliki kelemahan. Humanisme berasumsi bahwa setiap manusia memiliki satu batin autentik, tetapi ketika saya berusaha mengikutinya, saya sering menghadapi kebisuan atau hiruk pikuk suara-suara yang bertentangan. Untuk mengatasi problem ini, humanisme tidak hanya satu sumber otoritas baru, tetapi juga sebuah metode baru untuk menilai otoritas itu dan mendapatkan pengetahuan sejati. Jika orang ingin tahu jawaban atas sebuah pertanyaan penting, mereka akan membaca kitab suci, dan menggunakan logika mereka untuk memahami makna sesungguhnya teks kitab suci.

Revolusi saintifik mengajukan rumus yang sangat berbeda untuk pengetahuan: pengetahuan = data empiris x matematika. Jika kita ingin tahu jawaban atas suatu pertanyaan, kita perlu mengumpulkan data empiris yang relevan, kemudian menggunakan alat-alat matematika untuk menganalisisnya. Muhyi merespon “untuk memajukan sebuah peradaban harus ada saintifik untuk memajukan moral juga harus mempercayai Tuhan atau kitab suci”. Para cendikiawan abad pertengahan menentukan bahwa tujuan manusia ini adalah menjalankan perintah Tuhan berdasarkan kitab suci, dan para ilmuwan tidak bisa memberikan ketetapan-ketetapan semacam itu. Namun masyarakat tidak bisa bertahan terhadap nilai-nilai semacam itu.

Satu jalan untuk mengatasi kesulitan ini adalah terus menggunakan rumus lama bersama metode saintifik yang baru. Meskipun demikian, humanisme menawarkan sebuah alternatif yaitu pengetahuan = pengalaman x sensitivitas. Ini berarti bahwa kita mencari pengetahuan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman, mempertajam sensitivitas kita sehingga kita bisa memahami pengalaman ini dengan benar. Heri selaku mantan takmir Masjid Kotagede mengatakan “seperti tentang KPK, komisi pemberantasan korupsi masih merajalela walau disumpah Al-Quran. Kebiasaan humanisme manusia jika dihukum potong tangan maka tidak akan dilakukan karena menganggapnya kasihan, humanisme itu sifatnya manusia apapun yang diciptakan oleh manusia itu seperti halnya hukum yang dilanggar”.

Pengalaman adalah fenomena subjektif yang terjadi dari tiga unsur utama: sensasi, emosi, dan pikiran. Sedangkan sensitivitas adalah memperhatikan dan membiarkan sensasi, emosi dan pikiran memengaruhi seseorang. Pengalaman dan sensitivitas saling membangun dalam siklus yang tak pernah berhenti. Sensitivitas bukan kemahiran abstrak yang bisa dikembangkan dengan membaca atau mendengar, ia adalah keterampilan praktis dengan menerapkannya dalam praktik. Habibi merespon ”humanisme di dalam keagamaan manusia sangatlah dijunjung tinggi di segi sensitivitas yang mana menetapkan hak-hak orang lain. Contoh, buang sampah sembarangan dan hal-hal yang menyampingkan kemanusiaan. Islahudin menanggapi “dalam ranah seni memang kita harus sensitif, fenomena-fenomena di sekitar membuat sang seniman lebih produktif dalam melahirkan karya-karya baru terkait isu yang berkembang. Disitulah karya-karya yang terlahir juga melahirkan sensitivitas-sensitivitas terhadap lingkungan di mana seniman itu berada, dan begitulah seterusnya”.


Humanisme memandang kehidupan sebagai proses bertahap dari perubahan dalam diri, bergerak dari kebodohan menuju pencerahan dengan sarana pengalaman. Tujuan tertinggi dari kehidupan humanisme adalah mengembangkan pengetahuan melalui keragaman luas pengalaman intelektual, emosional dan fisik. Shadikin memandang dan mengamati teks “ketika kita berbicara tentang humanisme lawannya itu adalah teologi yang artinya jika kita membicarakan tentang makhluk manusia selalu bertolak-belakang dengan sang Tuhan penciptanya. Salah satu penyebabnya adalah kekecewaan para pemikir tentang alirannya, bagaimana petinggi-petinggi agama menjadikan manusia tidak seperti manusia lagi, memaksakan manusia tehadap hukum-hukum politik untuk membangun dirinya sendiri seperti membayar sesuatu atas nama agama. Justru juga ada yang berbalik, bahwa agamalah yang menjadikan seseorang itu humanis, dalam berbagai agama manusia itu perlu dimanusiakan oleh agama sehingga muncul dua aliran humanisme ini, yaitu aliran religius yang meyakini bahwa manusia harus dengan agamanya sehingga bisa menjadi humanis, dan juga aliran sekuler yang mengedepankan logika-logika. Yang mana jika seseorang yang mengedepankan logika mungkin sisi-sisi ketuhanan akan hilang”.


Dunia dipelihara oleh pengaruh kekuatan yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi menurut falsafah China yaitu yin-yang. Setiap yang saintifik mengandung di dalamnya sebuah  yin humanis, dan begitu pula sebaliknya. Yin-yang dalam modernitas adalah akal dan emosi. Habibi menanggapi ”Harari menganalogikan orang yang sudah disumpah-janjikan dengan kitab suci tetapi masih melakukan hal-hal yang tidak humanis berarti ia sudah mengakui bahwa setiap agama itu mempunyai sub yang mengatur tentang humanisme, contohnya agama Islam yang kita ketahui bahkan syarat masuk surga itu humanisme, seperti contoh jika kita memutuskan tali silaturahmi maka tidak masuk surga. Saya yakin bahwa setiap agama pasti mempunyai sub yang mengatur, jadi jangan sampai humanisme itu di atas agama karena itu tidak sebanding, agama itu ibarat payung dan humanis itu hanyalah judul saja”.

Demikian pula, kalau sebagian besar narasi pramodern fokus pada peristiwa dan perubahan eksternal, novel-novel, film-film, dan puisi-puisi modern sering menekankan perasaan. Epos-epos Yunani-Romawi dan romansa-romansa kesatriaan adalah katalog-katalog perbuatan heroik, bukan perasaan. Satu bab menggambarkan betapa beraninya seorang kesatria memerangi raksasa yang mengerikan dan membunuhnya. Shadikin pun ikut menanggapi “pengaruh kekuasaan gereja di eropa itu membuat orang kecewa kepada orang-orang di gereja bahkan mereka juga ikut kecewa terhadap agama-agamanya sehingga menurut saya humanisme itu bertentangan dengan agama”. Muhyi menanggapi “humanisme ini sangat bertentangan dengan sifatnya yang fanatik, ketika humanisme ini dikembangkan dengan cara yang fanatik seolah-olah ketika ia disandingkan boleh jadi ini tidak cocok. Orang yang fanatik terhadap agama maka seberapa besar pun rintangan zaman maka agama tersebut tetap eksis ketimbang ideologi-ideologi yang berkembang. Misalnya seperti isme-isme lain yang hanya bertahan sekitar 200-300 tahun”. Haikal menanggapi “humanisme tidak selalu bertentangan dengan agama tetapi tingkah laku manusia itu yang membuat agamanya itu menjadi rusak”.

Humanis fokus pada perasaan dan pengalaman, bukan pada perbuatan atau seni yang di wahyukan. Alangkah mengecewakan penusukan punggung dan penumpahan isi perut hanyalah sebuah metafora. Kini kita mungkin anggap kesatria abad pertengahan tidak sensitif dan brutal, jika mereka hidup di tengah-tengah kita, kita akan mengirim mereka ke terapis, yang bisa membantu mereka bersentuhan dengan perasaan-perasaan mereka sendiri. Inilah yang terjadi pada Manusia Kaleng (Tin Man) dalam The Wizard of Oz. Habibi menanggapi “saya mengembalikan ke sebelumnya, memang tidak sepenuhnya apa yang Harari katakan itu salah tetapi kembali lagi kepada kita manusia, di dalam tulisan Harari yang saya tangkap, yang bisa dijadikan pengalaman itu ketika kita sudah beragama maka kita akan berpatokan kepada dalil-dalil. Nah, di sini yang Harari maksud tentang pengalaman itu adalah seperti pengetahuan murni/alami. Kita selaku yang menganut kepercayaan, kita tidak mengambil pengalaman dari orang-orang awam seperti yang Harari maksudkan tetapi kita tetap mengambil narasumbernya dari kitab-kitab”.

Harari mengira bahwa dunia ini sudah selesai, tidak usah percaya pada siapapun lagi. Harari juga menyinggung umat-umat beragama dengan mengatakan “silahkan kalian mempercayai Tuhan tetapi pada saat kalian sadar bahwa setelah kematian terakhir ini kalian tidak mendapatkan apa-apa melainkan pengalaman-pengalaman di dunia”. Kita memaknai bahwa perjalanan yang baik akan menentukan hasil yang baik, mungkin di satu sisi Harari khawatir terhadap manusia bagaimana selanjutnya termasuk kita generasi saat ini, tapi pada dasarnya kita bisa survey masa kita saat ini, kita bisa hidup dengan cara kita sendiri dengan kemajuannya ke depan. Daripada kita mengkhawatirkannya, lebih baik kita memberi motivasi dan semangat yang terbaik pada mereka bahwa mereka juga akan menemukan jalan mereka sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar